close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih Johanis Tanak. Foto YouTube DPR
icon caption
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih Johanis Tanak. Foto YouTube DPR
Nasional
Rabu, 28 September 2022 21:35

Komisioner KPK terpilih usul pendekatan restorasi justice berantas korupsi

Restorasi justice belum diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
swipe

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih Johanis Tanak, mengusulkan agar restorative justice (RJ) atau alternatif penyelesaian perkara tindak pidana digunakan dalam perkara tindak pidana korupsi. 

"Saya mencoba berpikir untuk restorative justice terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Tapi apakah mungkin yang saya pikirkan itu dapat diterima, saya juga belum tahu. Harapan saya dapat diterima," kata Johanis saat melakukan fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (28/9).

Johanis merupakan Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Ia terpilih sebagai komisioner KPK yang baru untuk menggantikan posisi Lili Pintauli Siregar.

Menurut mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi ini, restorasi justice tidak hanya bisa dilakukan dengan perkara tindak pidana umum, tetapi juga tindak pidana khusus, dalam hal ini korupsi.

"Hal ini dapat saja dilakukan meskipun Pasal 4 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. Namun hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum, yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ucap Johanis.

Menurut dia, dalam menggunakan restorasi justice bisa menggunakan Undang-Undang tentang BPK. Johanis menyebut, apabila BPK menemukan suatu kerugian keuangan negara, maka BPK akan memberikan kesempatan selama 60 hari kepada yang diduga melakukan kerugian keuangan negara untuk mengembalikkan kerugian negara.

Dia mengakui, restorasi justice belum diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, hal ini bisa diatur dalam suatu peraturan untuk mengisi kekosongan hukum dengan membuat Peraturan Presiden. 

"Nantinya ketika ada orang yang melakukan tindak pidana korupsi, saya berharap dia dapat mengembalikan uang tersebut, tetapi dia kena denda juga, kena sanksi juga. Jadi kalau dia merugikan negara Rp10 juta, saya berharap dia mengembalikkan ke negara Rp20 juta. Jadi, uang negara tidak keluar, PNBP untuk negara ada. Bisa saja dua kali atau tiga kali lipat," katanya.

Namun, anggota Komisi III DPR Benny K Harman tidak sepakat dengan Johanis. Menurutnya, tidak ada pendekatan restorasi justice dalam pemberantasan lorupsi.

"Ya, tak ada pendekatan restorative justice dalam pemberantasan korupsi. Mungkin yang dia maksudkan itu yang diutamakan adalah penyelamatan keuangan negara. Karena restorative justice tak dikenal dalam hukum pemberantasan korupsi," ujar Benny di Senayan, Rabu.

Di sisi lain, Benny menilai hukum pemberantasan korupsi itu adalah hukum yang kejam. 

"Dan yang ada di pimpinan KPK itu raja tega semua. Tak ada pertimbangan kemanudiaan, politik, sahabat, loyalitas. Loyalitasnya hanya satu kepada negara, konstitusi, dan kepada peraturan perundang-undangan, dan keadilan," pungkas dia.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan