close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi revisi KUHP (RKUHP). Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi revisi KUHP (RKUHP). Alinea.id/Firgie Saputra
Nasional
Selasa, 06 Desember 2022 10:21

Komnas HAM desak perbaikan pasal-pasal RKUHP

Kecenderungan ancaman pemidanaan penjara di dalam RKUHP dinilai menurun daripada UU Pengadilan HAM.
swipe

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak DPR dan pemerintah mempertimbangkan masukan publik atas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Ini perlu guna memastikan perubahan dan perbaikan sistem hukum pidana tetap dalam koridor penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengungkapkan, pihaknya memiliki sejumlah catatan terkait penyusunan RKUHP. Salah satunya, soal tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.

"Komnas HAM menganalisis adanya kecenderungan ancaman pemidanaan penjara yang menurun di RKUHP dari Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Nova dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (6/12).

Disampaikan Nova, pelanggaran HAM yang berat dalam RKUHP disebut sebagai tindak pidana berat terhadap HAM. Delik ini memiliki prinsip dan asas berbeda dengan tindak pidana biasa meskipun dalam RKUHP disebut tindak pidana khusus.

Dalam delik pelanggaran HAM berat dikenal adanya asas Retroaktif dan prinsip tidak mengenal kedaluwarsa. Apabila asas dan prinsip itu tidak tercantum dalam RKUHP, maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang sudah selesai dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM dapat dianggap tidak ada bahkan tidak pernah terjadi.

"Padahal faktanya, kita masih bisa menemukan korban-korban atas peristiwa-peristiwa tersebut," ujar dia.

Sementara itu, untuk kejahatan genosida, UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara 10-25 tahun. Adapun di dalam Pasal 598 RKUHP, ancaman pidana penjaranya 5-20 tahun.

Kemudian, tindak pidana terhadap kemanusiaan, UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara 10-25 tahun. Sedangkan dalam Pasal 599 RKUHP, ancamannya tergantung delik yang disangkakan, tetapi paling singkat 5 tahun dan maksimal 20 tahun.

"Dalam RKUHP, maksimal penghukuman hanya 20 tahun sehingga sifat kekhususan (extraordinary crime) dari delik perbuatan pelanggaran HAM yang berat telah direduksi oleh tindak pidana biasa," papar Nova.

Nova menilai, hal tersebut membuat cita-cita hukum untuk menimbulkan efek jera (aspek retributif) maupun ketidakberulangan menjadi tidak jelas.

Baginya, diaturnya genosida dan kejahatan kemanusiaan dalam RKUHP melemahkan bobot kejahatan atau tindak pidana tersebut. Ini dikhawatirkan mengubah kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.

Selain itu, bakal mengaburkan sifat khusus yang ada dalam kejahatan tersebut serta berpotensi menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif.

"Kemudian, dikhawatirkan berkonsekuensi terhadap ketidakjelasan atau ketidakpastian hukum dengan instrumen hukum lain yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP serta memiliki potensi celah hukum," tutur dia.

Di sisi lain, imbuh Nova, RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan alternatif sebagai upaya terakhir mencegah tindak pidana.

Hal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28 (A) UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 9 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dalam beleid tersebut disampaikan, hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable right).

Meskipun demikian, Nova mengakui ada catatan kemajuan dalam RKUHP. Misalnya, hukuman mati bukan lagi hukuman pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu dan memasukkan pengaturan masa percobaan 10 tahun untuk mengubah putusan hukuman mati.

Komnas HAM pun mendesak tindak pidana khusus, terutama genosida dan tindak kejahatan kemanusiaan, di dalam RKUHP dihapuskan. "Karena dikhawatirkan menjadi penghalang adanya penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif karena adanya asas dan ketentuan yang tidak sejalan dengan karakteristik khusus genosida dan kejahatan kemanusiaan.".

Selain itu, Komnas HAM juga mendesak adanya perbaikan pada pasal-pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM. Di antaranya, ketentuan Pasal 300 tentang hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan serta ketentuan Pasal 465, 466, dan 467 tentang aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan.

Kemudian, rancangan Pasal 218, 219, dan 220 terkait tindak pidana penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden; rancangan Pasal 263 dan 264 menyangkut tindak pidana penyiaran atau penyebaran perita atau pemberitahuan palsu; serta rancangan Pasal 349 dan 350 tentang kejahatan terhadap penghinaan kekuasaan publik dan lembaga negara.

"Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat, dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya," tukas Nova.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan