Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab mengkritik draf Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang unit kerja presiden pemulihan korban pelanggaran HAM berat. Dia menilai aturan itu tidak menjawab persoalan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sebab, ruang lingkup unit kerja Presiden itu menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Namun, unit kerja Presiden dalam Raperpres tersebut mengambil alih hasil penyelidikan Komnas HAM dengan menawarkan bantuan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM.
Padahal, hasil penyelidikan Komnas HAM merupakan berkas pidana, sehingga menindaklanjutinya harus melalui mekanisme proses hukum.
"Komnas HAM menghormati langkah-langkah pemerintah yang ingin memenuhi hak korban pelanggaran HAM, tetapi memenuhi hak korban bukan seperti orang-orang bagi sembako atau memberi sedekah," ucapnya dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (8/4).
Dia pun mengingatkan, pemenuhan hak para korban pelanggaran HAM berat harus memiliki kaidah hukum dan dasar akademis. Amiruddin mengkritik, pernyataan Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM, Timbul Sinaga (dalam diskusi yang sama) bahwa pemenuhan hak para korban pelanggaran HAM berat masa lalu atas dasar belas kasihan.
"Korban pelanggaran HAM berat tidak menginginkan belas kasihan, kok. Yang diminta bagaimana proses pertanggungjawaban dari pemerintah. Dari proses itulah nanti hak korban dipenuhi, sebagai korban pelanggaran HAM berat, bukan fakir miskin," tutur Amiruddin.
Dia juga membantah pernyataan Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM Timbul Sinaga terkait keterlibatan Komnas HAM dalam penyusunan Raperpres tersebut.
"Tidak pernah dilibatkan dan tidak pernah melibatkan diri. Dalam aturan tersebut tidak ada tanggung jawab Komnas HAM," ujar Amiruddin.
Diketahui, hanya tiga dari 15 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diselesaikan melalui "meja hijau" sejak Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) disahkan. Rinciannya, peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984); kejadian Timor Timur; dan tragedi Abepura (2000)
Sedangkan, sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan, yakni peristiwa 1965-1966; penembakan misterius atau petrus (1982-1985); peristiwa Talangsari; tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; kasus penghilangan orang Secara Paksa; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Simpang KKA, Aceh (3 Mei 1999); peristiwa Jambu Keupok, Aceh (2003); pembunuhan dukun santet (1998-1999); peristiwa Rumoh Geudong, Aceh (1998); tragedi Paniai (2014); serta peristiwa Wasior dan Wamena (2001).