Komnas HAM minta Jokowi terbitkan Keppres
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan Keputusan Presiden (Keppres) guna menguatkan lembaga Komnas HAM.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan penguatan lembaganya itu didukung oleh masyarakat. Dukungan itu tercermin dalam hasil survei yang digelar Komnas HAM bersama Litbang Kompas.
Choirul menuturkan, penguatan kelembagaan itu mencakup sejumlah sisi. Dalam konteks tugas pokok dan fungsi (tupoksi) misalnya, dia menginginkan diberikannya kewenangan penyelidikan dan penindakan.
Kemudian, sambungnya, mengenai pengikatan segala rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM untuk seluruh elemen pemerintah. "Mayoritas responden mendukung kewenangan Komnas HAM diperkuat," kata dia di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
Terkait penguatan kewenangan Komnas HAM, dari 1.200 responden yang disurvei di seluruh provinsi, terdapat 75,9% masyarakat yang setuju. Kemudian, sebanyak 8,8% responden tidak setuju, lalu 8,6% tidak tahu, 4,9% sangat setuju, dan sisanya 1,9% sangat tidak setuju.
Anam menerangkan, penguatan kelembagaan Komnas HAM sejatinya memang sangat diperlukan. Pasalnya hingga saat ini, masih banyak hambatan yang dialami Komnas HAM guna menyelesaikan masalah HAM, yang diakibatkan kurangnya kewenangan yang ada sekarang.
Sebagai salah satu harapan Komnas HAM, misalnya terkait mekanisme rekomendasi mereka yang harusnya terikat secara hukum. Hal ini, kata Anam, diperlukan agar segala rekomendasi dari Komnas HAM terhadap berbagai pihak tidak diabaikan begitu saja.
Dia menjelaskan, kinerja Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM itu kan hanya melakukan pemantauan, melakukan penelitian ada pelanggaran atau tidak. Dalam UU tersebut juga dibolehkan melahirkan rekomendasi, tetapi tidak ada kata-kata mengikat.
"Tidak ada kata-kata kalau tidak dilaksanakan bisa dikasih sanksi pidana, sanksi administrasi atau sanksi keperdataan, akhirnya rekomendasi kami hanya dianggap angin lalu saja berdasarkan yang sudah-sudah,” terang Anam.
Ia menegaskan, rekomendasi Komnas HAM jangan malah dianggap menjadi musuh bersama bagi pemerintah. Selama ini, ia menilai keadaan itu nampak dalam konteks pembangunan infrastrukutur. Jika Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi, pasti ada saja yang skeptis, bahwa hasil rekomendasi tersebut dapat menyumbat pembangunan.
Diterangkan Anam, Komnas HAM sendiri telah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada pemerintah ihwal penundaan pembangunan. Hal itu dilakukan lantaran imbas dari pembangunan tersebut disinyalir tidak berlandaskan HAM. Akan tetapi, masih banyak pembangunan yang terus dijalankan seolah-olah rekomendasi Komnas HAM hanya angin lalu.
“Makanya, biar tidak tergantung pada individu orangnya, yang kebetulan mendapatkan rekomendasi itu, baik atau tidak, tidak tergantung pada momennya baik atau tidak, dibikinlah aturan secara hukum yang mengatakan bahwa rekomendasi Komnas HAM wajib dilakukan. Kalau masih seperti ini penegakan HAM kita, saya jamin tidak akan berubah,” urai dia.
Selain kasus infrastruktur, contoh lainnya adalah kasus penyelidikan penyiraman mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Dikatakan Anam, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi secara prosedural mengenai pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Polri. Namun demikian, seperti tidak digubris secara serius, hingga sekarang substansi rekomendasi tersebut tak kunjung nampak.
“Kita lihat sampai sekarang kasus Novel tidak selesai. Padahal itu substansi rekomendasinya. Kami akan menanyakan langsung ke Kapolri, termasuk juga menanyakan kepada Presiden Jokowi, bagaimana presiden membangun pengawasan terhadap penyelesaian kasus Novel secara langsung dan konkret,” sambung Anam.
Lebih jauh, Anam juga mendorong agar tupoksi Komnas HAM dalam menangani kasus HAM segera dilebarkan. Dalam konteks UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia misalnya, Anam menilai penting untuk Komnas HAM ditambahkan kewenangannya buka hanya sebatas penyelidikan, namun juga penindakan.
Kewenangan penindakan sekarang masih menjadi hak Jaksa Agung. Menurut Anam, guna mengefisienkan penangan kasus HAM, sebaiknya negara memberikan wewenang tersebut kepada Komnas HAM.
“Jaksa Agung kalau mau berperan sebatas tuntutan saja. Itu pun kalau mau berperan. Kalau tidak, biar kami saja yang bablas. Khususnya pelanggaran HAM berat masa lalu. Misal usia kasus sudah ada 30 tahun, 20 tahun, semakin lama semakin susah kita menyelesaikan. Pelakunya meninggal, kalau begitu gimana? Ya berhenti kasus. Masa kita cepet-cepetan sama malaikat, kan tidak mungkin,” terang Anam
Untuk diketahui, selain mayoritas masyarakat banyak yang setuju akan penguatan kelembagaan Komnas HAM, masyarakat juga banyak menaruh harapan agar Komnas HAM bisa menyelesaikan segala masalah HAM yang ada di Tanah Air.
Sampaikan kepada presiden
Sementara itu, Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, berharap Komnas HAM segera memberikan respons atas survei yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas.
Menurut dia, jajak pendapat itu seharusnya disampaikan kepada Presiden Jokowi dan beberapa kementerian terkait, untuk segera mengungkap kasus pelanggaran HAM Berat.
"Kita berharap (juga) Komnas HAM) bisa menjadi garda (terdepan) dalam hal pengungkapan kasus melalui mekanisme yang tersedia di Indonesia, yaitu melalui mekanisme di UU Nomor 26 tahun 2000, melalui jalur yudisial," kata Dimas.
Dia menegaskan mekanisme pengadilan dibutuhkan, mengingat selama lima tahun belakangan ini, kebijakan dan wacana yang didengungkan untuk penuntasan kejahatan atas manusia didominasi penyelesaian kasus melalui jalur nonyudisial.
Ihwal itu, dia mencontohkan tiga cara yang pernah ditawarkan negara, yaitu rekonsiliasi, kerukunan nasional, dan tim terpadu. Untuk yang terakhir, diketahui Ombudsman menyatakan hasil kerja tim terjadi untuk kasus Talangsari merupakan bentuk malaadministrasi.
"Jadi kita berharap Komnas HAM tetap menjaga marwahnya dalam mengawal penanganan kasus dan tidak terjebak dalam mekanisme-mekanisme yang ditawarkan oleh pemerintah, yang justru kontra produktif dengan agenda keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM," ujar dia.
Sebelumnya, survei Litbang Kompas dan Komnas HAM menunjukkan 62,1% responden memilih mekanisme pengadilan nasional untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sisanya, 37,2% memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional.
Akan tetapi, hanya 0,5% saja yang memilih lainnya. Dari hasil itu, dapat disimpulkan 99,5% responden memilih pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian kasus HAM. Riset ini dilaksanakan dari 23 September 2019 sampai 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan batas galat 2,8%.