close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi/Pixabay.
icon caption
Ilustrasi/Pixabay.
Nasional
Jumat, 01 Oktober 2021 19:07

Komnas HAM Papua bicara solusi penanganan konflik

Presiden Jokowi perlu membentuk tim khusus untuk menangani konflik di Papua.
swipe

Konflik bersenjata di tanah Papua antara hingga saat ini masih terjadi. Korbannya tidak saja aparat, melainkan juga masyarakat sipil. Catatan Aliansi Demokrasi untuk Papua, sudah terjadi 51 kasus, pada 2020 di beberapa Kabupaten.

Korban tewas mencapai 30 orang, 15 di antaranya merupakan masyarakat sipil. Ini disampaikan Aliansi dalam diskusi online "Papua: Konflik Bersenjata dan Perlindungan bagi Masyarakat Sipil" hari ini.

Hingga Juni 2021, lanjut Aliansi, tercatat ada 33 kasus kekerasan yang terbagi di lima kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Puncak, Intan Jaya, Mimika, Yahukimo serta Pegunungan Bintang. Disebutkan ada 23 korban meninggal, 9 di antaranya merupakan masyarakat sipil.

"Isu ini tentu saja menjadi salah satu persoalan yang relevan dan penting untuk terus dibicarakan, tidak hanya di Papua tapi juga di luar Papua. Karena kalau kita berkaca pada hampir semua konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia lain, persoalan kebijakan keamanan yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan dalam konteks menangani konflik yang terjadi di negaranya ini menjadi salah satu persoalan yang menjadi banyak perbincangan, tidak hanya antar para pihak yang terlibat dalam
konflik dan kekerasan tersebut, tetapi juga masyarakat secara umum," jelas Direktur Imparsial, Gufron Mabruri pada Jumat (1/10).

Menurut Ghfron, konflik yang terjadi di Papua hingga saat ini tidak terlepas dari dinamika konflik berdimensi vertikal, yang masih belum terselesaikan oleh pemerintah.

“Sebelumnya pemerintah sudah menyelesaikan Persoalan Timtim (Persoalan di Timor Leste), kemudian pada tahun 2005 pemerintah juga sudah menyelesaikan persoalan konflik di Aceh. Hari ini Papua, belum diselesaikan oleh pemerintah," bebernya.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Provinsi Papua, Frits Ramandey mengungkapkan bahwa pemerintah dapat menangani konflik di Papua dengan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012. Sayangnya, jelas dia, UU tersebut tak dipakai.

"Padahal kita punya rujukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, ini sama sekali tidak dipakai untuk penyelesaian kasus Papua. Padahal sebenarnya kalau kita membaca UU No. 7 itu kita kemudian punya rujukan," bebernya.

Ia merujuk pada penanganan konflik yang terjadi di Papua pada 2019, 2020 dan 2021. "Ada peristiwa pengungsian yang belum tersentuh pertama di Nduga yang berkepanjangan tidak disentuh, yang kedua itu Puncak, yang ketiga Intan Jaya, yang keempat Yapen, yang kelima Kishore, yang keenam Pegunungan Bintang sekarang," jelasnya.

Untuk menangani konflik Papua agar tidak berkelanjutan, Ia meminta Presiden Jokowi untuk membentuk tim khusus yang langsung menangani konflik di sana.

Menurutnya, harus dibentuk tim yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, alias tidak di bawah kementerian. Tujuannya, supaya Presiden mendapat laporan yang valid tentang kondisi di Papua.

"Sebagai solusinya kita punya pengalaman yang baik, yang harus bisa diterapkan kembali. Pengalaman baik itu adalah kalau kita bilang dialog Jakarta-Papua pasti tidak berhasil karena telah terjadi resistensi. Karena itu yang perlu didorong adalah dialog kemanusiaan, dan tim itu harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Tidak boleh lagi ada di bawah struktur Presiden," ungkapnya.

img
Siti Nurjanah
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan