close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga (kanan). Foto komnasham.go.id
icon caption
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga (kanan). Foto komnasham.go.id
Nasional
Kamis, 28 Juli 2022 17:30

Komnas HAM: RUU ITE belum kedepankan perlindungan hak kebebasan berekspresi

Komnas HAM menyebut RUU Perubahan UU ITE belum sepenuhnya memperbaiki problem mendasar dari UU ITE.
swipe

Komnas HAM melakukan pengkajian atas Rancangan Undang-Undang Perubahan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU Perubahan UU ITE). Pengkajian dilakukan secara materiil maupun formil berdasarkan kewenangan Komnas HAM dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

"Kajian ini dilakukan setelah Komnas HAM menerima 108 pengaduan terkait UU ITE sepanjang 2016-2021," kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga dalam keterangan tertulis, Kamis (28/7).

Sandrayati mengungkapkan, pihaknya masih menemukan kelemahan secara materiil dan formil dalam pengkajian yang dilakukan. Artinya, RUU Perubahan UU ITE belum sepenuhnya memperbaiki problem mendasar dari UU ITE.

Ia pun turut menyayangkan hal tersebut. Sebab, RUU Perubahan ITE masih belum berorientasi pada perlindungan hak kebebasan berekspresi.

"Hasil pengkajian dan penelitian Komnas HAM kali ini menyimpulkan bahwa RUU Perubahan UU ITE masih berorientasi pada pengekangan hak kebebasan berekspresi (interference oriented) dan belum berorientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi (protection oriented)," jelasnya.

Sandrayati menilai, implementasi UU ITE menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak berekspresi sejak disahkan pada 2008. Oleh sebab itu, Sandrayati memberikan enam poin rekomendasi kepada pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang RUU Perubahan Kedua UU ITE.

Menurutnya, RUU Perubahan Kedua UU ITE perlu menggeser orientasi dari pengekangan hak kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi.

"Pertama, memasukkan “asas non diskriminasi” sebagai asas penting di dalam RUU ITE," ujar Sandrayati.

Kemudian, pada poin kedua, pihaknya merekomendasikan pembentuk RUU ITE untuk mencantumkan pasal khusus tentang "pembatasan yang sah dan proporsional". Hal ini dinilai perlu dilakukan agar menjadi dasar bagi penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai suatu tindak pidana atau bukan.

Lalu, poin ketiga yakni menghapuskan rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam RUU ITE. Rumusan pasal ini, kata Sandrayati, berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan (over limitation). 

Jika pasal pencemaran nama baik dalam RUU ITE dipertahankan, definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas, baik dari unsur subjektif, objektif, maupun akibat yang ditimbulkan. Ia juga menyoroti soal ancaman sanksi pidana dalam rumusan pasal ini.

"Selain itu, perkara ini tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana. Melainkan dimasukan ke dalam perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan, seperti permintaan maaf, ganti rugi atau kompensasi kepada yang dirugikan," jelasnya.

Lebih lanjut, pihaknya merekomendasikan untuk memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan, lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan internet shutdown atau pemutusan jaringan internet adalah lembaga independen. 

Lembaga ini berkewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet, seperti soal lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, serta dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan tersebut. 

"Untuk itu, setiap pembatasan akses internet harus diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya," terang Sandrayati.

Selain itu, perlu dilakukan pengesahan moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM sampai RUU ITE.

Terakhir, pihaknya menyarankan agar pemerintah dan DPR merumuskan kembali RUU ITE dengan menggunakan Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM Nomor 5 Tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi sebagai rujukan.

"Hasil penelitian dan pengkajian ini diharapkan menjadi energi serta masukan untuk Pemerintah dan DPR RI dalam melakukan perbaikan atas RUU Perubahan UU ITE yang sejalan dengan upaya menjamin pelindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi seluruh warga Indonesia," pungkasnya.
 

img
Gempita Surya
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan