Kapolri Jenderal Idham Azis melarang masyarakat untuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam (FPI). Hal itu tertuang dalam Maklumat Kapolri bernomor Mak/1/I/2020 tentang kepatuhan larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI.
Ada satu pasal yang dianggap berlebihan dan bisa mengkebiri kebebasan pers. Yakni Pasal 2d yang berbunyi "Masyarakat tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial."
Redaksional maklumat itu diprotes oleh komunitas pers yang terdiri atas Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana, Sekjen Pewarta Foto Indonesia (PFI) Hendra Eka, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Kemal E. Gani, dan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut.
Komunitas pers menilai, Maklumat Kapolri berkaitan dengan FPI sangat berlebihan. Hal itu tidak sejalan dengan hak masyarakat untuk mendapat dan menyebarkan informasi.
Isi dari maklumat tersebut dinilai komunitas pers mengancam tugas jurnalis dan media, karena profesinya melakukan fungsi mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI.
Padahal, hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang isinya menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Mendesak Kapolri mencabut Pasal 2d dari maklumat itu karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi, tak senafas dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan UU Pers," tulis keterangan tersebut.
Karena itu, komunitas pers pun mengimbau, pers nasional untuk terus memberitakan pelbagai hal yang menyangkut kepentingan publik seperti yang sudah diamanatkan oleh UU Pers.