Fraksi NasDem DPR menyayangkan adanya tindakan kekerasan saat penggusuran masyarakat adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau (Kepri). Aparat pun diminta tak menggunakan kekuatan berlebih.
Selain itu, sambung anggota Fraksi NasDem DPR, Muhammad Farhan, semua pihak diminta menahan diri. Harapannya, situasi mereda.
"[NasDem juga] meminta pemerintah pusat untuk mengambil langkah-langkah penyelesaiannya yang tidak merugikan semua pihak, baik dari sisi rencana proyek strategis nasional maupun dari sisi hak masyarakat adat," tuturnya, Selasa (12/9).
Menurut Farhan, pemerintah mestinya mengakui hak-hak masyarakat adat Pulau Rempang. Oleh karena itu, mestinya negara membuka ruang dialog dan partisipasi dalam merumuskan kebijakan strategis nasional.
Fraksi NasDem pun mengajak DPR menyegerakan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat.
Konflik antara aparat Satpol PP, kepolisian, Ditpam Batam, dan TNI dengan masyarakat adat Pulau Rempang bermula dari beredarnya kabar Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) akan melakukan pengukuran, Rabu (6/9). Itu merupakan salah satu tahapan pembebasan lahan setempat.
Sehari kemudian (Kamis, 7/9), warga berkumpul di Jembatan 4 Barelang. Sekitar pukul 09.51 WIB, aparat gabungan membentuk barisan di depan jembatan, lalu bergerak ke arah warga di ujung jembatan.
Kapolresta Balerang, Kombes Nugroho, kemudian meminta warga mundur. Namun, tidak diindahkan lantaran masyarakat berupaya mempertahankan ruang hidupnya.
Sejurus kemudian, aparat merangsek masuk ke kampung dan dibalas lemparan batu. Aparat pun membalas dengan menyiramkan air dan menembakkan gas air mata.
Sekitar 10.000 masyarakat adat di 16 Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang dan Galang terancam diusir karena tempat tinggalnya yang dihuni turun-temurun sejak 1843 bakal dibangun Rempang Eco City. Proyek strategis nasional (PSN) ini digarap taipan Tomy Winata melalui anak perusahaan PT Artha Graha, PT Makmur Elok Graha (MEG).