close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suami-istri konglomerat Sjamsul Nursalim dan Itjih diduga menjadi garong negara dalam kasus korupsi BLBI. / Facebook
icon caption
Suami-istri konglomerat Sjamsul Nursalim dan Itjih diduga menjadi garong negara dalam kasus korupsi BLBI. / Facebook
Nasional
Senin, 10 Juni 2019 19:22

Konglomerat suami-istri diduga terlibat megakorupsi BLBI

Suami-istri konglomerat Sjamsul Nursalim dan Itjih diduga menjadi garong negara dalam kasus korupsi BLBI.
swipe

Suami-istri konglomerat Sjamsul Nursalim dan Itjih diduga menjadi garong negara dalam kasus korupsi BLBI.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Penetapan tersangka tersebut merupakan hasil pengembangan perkara terpidana mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temanggung.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief menjelaskan, konstruksi perkara tersebut bermula saat BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambil alihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998.

Dalam MSAA tersebut, telah disepakati bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI. Sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) sepenuhnya, tersangka Sjamsul bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajibannya baik secara tunai ataupun penyerahan aset.

"Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku PSP BDNI sebesar Rp47,258 triliun," kata Laode, dalam konferensi pers, di Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Senin (10/6).

Kewajiban tersebut, dikurangi dengan penyerahan aset sebesar Rp18,85 triliun, termasuk pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp4,8 triliun.

Laode menyebut, Aset sebilai Rp4,8 triliun itu dipresentasikan Sjamsul sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.

"Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet, sehingga dipandang terjadi misrepresentasi," ucap Laode.

Atas hasil tersebut, kemudian BPPN mengirimkan surat kepada Sjamsul yang berisikan pemegang saham BDNI telah melakukan misrepresentasi. BPPN juga meminta Sjamsul menambah aset untuk mengganti kerugian. Namun, tersangka Sjamsul menolak.

Selanjutnya, tersangka Itjih yang merupakan istri Sjamsul mengadakan rapat dengan BPPN, pada Oktober 2003. Hal itu dilakukan agar rencana penghapusan piutang petambak dipasena dapat berjalan lancar. Dalam rapat tersebut, Itjih juga menyampaikan bahwa suaminya tidak melakukan misrepresentasi.

"Kemudian pada bulan Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (Ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada Presiden RI saat itu agar sisa utang petani tambak dilakukan white off (dihapusbukukan). Namun BPPN tidak menyampaikan misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul," tuturnya.

Hasil Ratas tersebut, tidak memberikan keputusan dan persetujuan terhadap usulan white off dari BPPN. Tetapi, Laode menyebut, terpidana Syafruddin Arsyad Temenggung dan tersangka Itjih telah menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang berisikan para pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang diatur dalam MSAA, pada 12 April 2004.

Kemudian, terpidana Syafruddin juga telah menandatangani surat perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada tersangka Sjamsul, pada 26 April 2004. Loade menyebut, hal itu mengakibatkan hak tagih atas utang petambak dispena menjadi hilang atau dihapus.

Selanjutnya, BPPN menyerahkan pertanggung jawaban aset pada Kemenkeu yang berisikan hak tagih atau utang petambak pada PT DCD dan LT WM pada 30 April 2004. Hal itu yang menyebabkan Dirjen Anggaran Kemenkeu menyerahkan hak tagih kepada PT Perusahaan pengelola Aset (PPA).

"Kemudian PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal nilai kewajiban SJN (Sjamsul) yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 trilliun," ujar Laode.

Akibatnya, KPK menduga nilai kerugian negara pada perkara itu sebesar Rp4,58 trilliun. Dalam perkara ini, komisi antirasuah itu juga akan memaksimalkan upaya asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara.

Atas perbuatannya, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Dalam kasus ini, KPK juga telah melayangkan panggilan pemeriksaan kepada tersangka Sjamsul dan Itjih sebanyak tiga kali. Panggilan tersebut dilakukan pada Oktober 2018 sebanyak dua kali, dan Desember 2018 satu kali. Namun keduanya tidak memenuhi panggilan tersebut. 

Laode mengatakan, pihaknya telah mengirimkan informasi dimulainya penyidikan pada tersangka Sjamsul dan Itjih di tiga lokasi berbeda di Singapura dan satu lokasi di Indonesia, pada 17 Mei 2019.

Adapun tiga lokasi di Singapura itu ialah The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte. Ltd. Selain itu, satu lokasi yang ada di Indonesia ialah rumah tersangka yang ada di daerah Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama.

"KPK ingatkan pada para tersangka jika memiliki itikad baik agar bersikap kooperatif dengan proses hukum ini," ujar Laode.

Wakil Ketua KPK Saut Situmoran (Kiri), Wakil Ketua KPK Laode M Syarief (Kanan), dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah (Kanan) dalam konferensi pers dua tersangka kasus BLBI, di Gedung Penunjang Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (10/6). Alinea.id/Achmad Al Fiqri.

Profile Sjamsul Nursalim

Sjamsul Nursalim adalah konglomerat pemilik sekaligus pendiri PT Gajah Tunggal Tbk. Perusahaan produsen ban GT Radial itu telah tercatat di PT Bursa Efek Indonesia dengan kode saham GJTL.

Tidak hanya itu, konglomerat ini juga merupakan pendiri PT Mitra Adiperkasa Tbk. Perusahaan ritel yang menjual produk terkenal seperti Starbucks, Zara, Sogo, Burger King, Planet Sports, dan lain-lain itu juga telah listing di BEI dengan kode MAPI.

Nama Sjamsul pada tahun 2018 masih tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Sjamsul menempati urutan ke-36 dari 50 taipan Tanah Air.

Kekayaan Sjamsul ditaksir mencapai US$810 juta setara Rp11,58 triliun pada akhir Desember 2018. Pundi-pundi kekayaan Nursalim diperoleh dari sektor properti, karet, batu bara, dan ritel.

Di Singapura, Nursalim memiliki kerajaan bisnis properti yang terdaftar di bursa saham di negara itu. Sejumlah proyek properti dibangun dan dimiliki oleh perusahaan Tuan Sing Holdings miliknya.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan