Kontak spiritual dalam misteri relasi Soeharto-Habibie
Cinta rakyat kepada pemimpinnya terlihat nyata saat proses pemakaman mendiang Bacharuddin Jusuf Habibie. Yang muda dan tua rela meluangkan waktu ikut melepas kepergian Presiden ketiga RI itu. Mereka berbondong-bondong menuju tempat peristirahatan terakhir Habibie di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin.
Saat mobil jenazah dibawa dari rumah duka di Patra Kuningan, Jakarta Selatan, ke Taman Makam Pahlawan, warga memadati jalan untuk memberi penghormatan terakhir. Habibie dimakamkan di samping pusara istrinya, Hasri Ainun Besari, seperti permintaan almarhum. Habibie mangkat pada usia 83 tahun di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (11/9) setelah bertarung dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang kian renta.
Hingga kemarin, para kerabat masih terus berdatangan ke rumah duka untuk mengucapkan duka. Namun, menurut Sekretaris Pribadi mendiang Habibie, Rubijanto, belum ada perwakilan Keluarga Cendana yang hadir melayat. Keluarga Cendana yang dimaksud ialah keluarga Presiden kedua RI Soeharto.
Rubijanto mengatakan tidak ada perwakilan dari keluarga itu hadir ketika Habibie tutup usia. "Enggak ada (geleng kepala), mungkin mereka sibuk, sedang ke luar kota, saya tidak tahu," kata Rubi di rumah duka, Jalan Patra Kuningan XIII Jakarta Selatan, Kamis (12/9), seperti ditulis Suara.com.
Habibie dan keluarganya sebetulnya memiliki kedekatan khusus dengan Soeharto. Berbeda dengan para pembantunya yang lain, Habibie mendapatkan kepercayaan memimpin Kementerian Riset dan Teknologi selama hampir tiga dekade. Menjelang kejatuhan pemerintahan orde baru, Soeharto bahkan memilih Habibie untuk menjadi wakil presiden.
Kedekatan keluarga Habibie-Soeharto terbangun sejak lama. Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu mengaku kenal Soeharto saat masih remaja, tepatnya pada awal 1950. Saat itu, Soeharto yang berpangkat letnan kolonel Angkatan Darat bertugas di Makassar untuk memimpin Brigade Mataram.
Pasukan ini mendapatkan tugas menumpas gerakan separatis yang dipimpin oleh Andi Azis. Markas pasukan Soeharto kebetulan terletak di seberang rumah orang tua Habibie di Jalan Maricaya, Makassar. Soeharto sering menggelar rapat di rumah Alwi.
Tidak mengherankan, seperti tertuang dalam B.J. Habibie: Kisah Hidup dan Kariernya (1995) karya A. Makmur Makka, apabila Soeharto amat akrab dan dekat dengan bapak-ibu Habibie, Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Poespowardojo. "Dia (Soeharto) memperlakukan saya seperti anaknya sendiri," kata Habibie.
Soeharto tidak lagi menggelar rapat di rumah Alwi setelah Andi Azis menyerahkan diri. Habibie kembali bersua dengan Soeharto saat kuliah di Jerman pada 1960-an. Pertemuan berikutnya terjadi pada 1974, saat Soeharto yang sudah menjabat sebagai presiden memanggil Habibie untuk membangun industri dirgantara.
Hubungan yang manis itu putus pada 21 Mei 1998. Saat itu Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu posisi Soeharto memang terjepit. Pada saat yang sama, Habibie yang wakil presiden menggantikan posisi Soeharto. Saat itu pula ia diambil sumpah sebagai presiden. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Kedekatan Habibie dengan Soeharto yang sudah terpilin puluhan tahun tiba-tiba sirna. Padahal, Habibie telah menganggap Soeharto sebagai ayah angkat. Ketika Soeharto terpaksa mundur setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, Habibie sebagai wakil presiden harus menggantikannya. Pengganti yang tidak pernah dipersiapkan sebelumnya.
“Sampai saat berakhirnya tugas saya sebagai presiden, walaupun saya selalu berusaha lewat berbagai jalur, saya tidak pernah berhasil bersilaturahim dengan Pak Harto, baik lewat telepon, apalagi bertemu langsung,” tulis Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006).
Bagi Habibie, sikap Soeharto itu cukup misterius. “Saya yakin Pak Harto mempunyai alasan tersendiri, dan mungkin beranggapan sebaiknya saya tidak mengetahuinya. Saya ikhlas kalau memang begitu kehendak Pak Harto… Dan sejarah jualah nanti yang akan mengungkap teka-teki kemisteriusan ini,” kata Habibie.
Misteri itu berlanjut hingga Soeharto meninggal pada 2008. Teka-teki baru terungkap setelah adik Soeharto, Probosutedjo, menerbitkan memoar berjudul Saya dan Mas Harto karya Alberthiene Endah pada 2010. Probo mengungkap alasan mengapa Soeharto tidak mau bertemu Habibie.
Probosutedjo bercerita, pada malam 19 Mei 1998, Habibie bertemu Soeharto membicarakan perkembangan situasi yang sedang terjadi. Saat itu demonstrasi di mana-mana, termasuk di Gedung DPR/MPR. Menurut Probosutedjo, dalam pertemuan itu Habibie menyatakan tidak sanggup menjadi presiden jika Soeharto mundur.
Namun, jelas Probosutedjo, setelah 14 menteri mengundurkan diri pada malam 20 Mei 1998, Habibie menyatakan sanggup menjadi pengganti Soeharto. “Mas Harto sangat terkejut… Ini membuat kakak saya menjadi sangat kecewa. Hari itu juga dia memutuskan untuk tidak menegur atau berbicara dengan Habibie. Kabarnya, malam itu Habibie menghubungi Mas Harto lewat telepon, tapi Mas Harto enggan bicara,” kata Probosutedjo.
Habibie, dalam Detik-Detik yang Menentukan, mengakui ada pertemuan dengan Soeharto pada 19 Mei malam. Juga pertemuan esok malamnya. Pada 20 Mei malam, pertemuan diakhiri dengan jabat tangan dan pelukan Soeharto. Saat itu Soeharto memberi tugas Habibie untuk menyelesaikan masalah Ginandjar Kartasasmita bersama 13 menteri lainnya yang mundur. "Laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi," kata Soeharto.
Malam itu, Habibie bertemu 4 menko dan 14 menteri yang mengundurkan diri di Patra Kuningan. Habibie menjelaskan, Soeharto akan membentuk Kabinet Reformasi seperti tuntutan demonstran. Para menteri yang mengundurkan diri diminta untuk menarik kembali pernyataan dan bersedia memperkuat Kabinet Reformasi.
Habibie ingin melaporkan hasil pertemuan malam itu ke Soeharto melalui telepon. Soeharto tidak berkenan. Soeharto menugaskan Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid untuk menyampaikan bahwa pada 21 Mei 1998 pukul 10.00 Soeharto akan mundur sebagai presiden. "Saya sangat terkejut," kata Habibie.
Selain itu, menurut Probosutedjo, Soeharto juga kecewa kepada keputusan Habibie yang memberikan referendum kepada Timor Timur yang akhirnya lepas dari Indonesia. “Mas Harto benar-benar terkejut. Dia duduk tegang dengan wajah kaku. Sorot matanya menunjukkan kemarahan yang amat sangat,” kata Probosutedjo.
Probosutedjo ingat perkataan Soeharto: “Bagaimana dia bisa memutuskan ini! Dia tahu pengorbanan Indonesia yang sangat besar untuk Timor Timur!” “Keputusan Habibie pada Timor Timur semakin memperlebar jarak antara Mas Harto dan Habibie,” kata Probosutedjo.
Puncak kekecewaan Soeharto terjadi ketika Habibie menyetujui pengusutan kasus korupsi yang dilakukan penguasa orde baru selama 32 tahun itu. Perintah mengusut mantan Presiden Soeharto ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Baginya itu adalah sebuah penghinaan besar," kata Probosutedjo. "Pengadilan terhadap Mas Harto terus dilakukan, dan Habibie membiarkan itu terjadi."
Kasus KKN Soeharto sempat diusut. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memintai keterangan Soeharto satu kali. Sejumlah saksi juga diperiksa. Namun, Soeharto terkena stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pertamina.
Ketika Habibie akan menjenguk Soeharto, tim dokter kepresidenan melarangnya. Belakangan, setelah menerima laporan dari Kejaksaan Agung dan tim dokter kepresidenan, Habibie mengajukan agar kasus Soeharto dideponir (ditutup dan tidak dapat dibuka lagi). Kasus Soeharto akhirnya ditutup dengan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan atau SP3 oleh Jaksa Agung.
Satu-satunya pembicaraan langsung yang berhasil dilakukan Habibie terjadi ketika Soeharto merayakan hari ulang tahunnya yang ke 71 pada 8 Juni 1998. Habibie diizinkan untuk menelepon Soeharto. ”Saya meneleponnya dan mengucapkan selamat hari ulang tahun. Saya ingin bertemu Bapak,” tutur Habibie.
Permintaan itu ditolak Soeharto. ”Jangan. Tidak. Kamu jangan menemui saya. Tidak baik untuk negeri ini. Bagi kamu, dan juga bagi saya. Kamu harus hentikan semua niatmu itu. Kamu tidak bisa menemui saya,” kata Soeharto seperti dituturkan Habibie kepada wartawan New York Times yang mewawancarainya, 28 Mei 2000.
”Tapi Bapak seperti ayah saya sendiri dan sahabat saya,” jawab Habibie. ”Lalu kenapa saya tidak boleh bertemu Bapak? Saya punya hak untuk bertemu dan bicara dengan Bapak,” lanjut Habibie.
”Tidak! Lebih baik coba mengontak saya secara spiritual saja atau telepati,” kata Soeharto menutup pembicaraan.
Setelah itu, kondisi Soeharto terus menurun. Bahkan, Soeharto sulit berkomunikasi dan sulit mengerti pembicaraan orang. Soeharto meninggal pada 27 Januari 2008. Sebelas tahun kemudian, Habibie mangkat menyusul Soeharto dengan membawa sejumlah misteri hingga ke liang kubur.