Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kinerja tiga tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin yang jatuh pada hari ini, 20 Oktober 2022.
Salah satunya yang jadi perhatian KontraS, yakni berkaitan dengan mundurnya langkah penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Tioria Pretty menilai, hal itu tercermin dari para pelanggar HAM yang dilantik untuk menempati berbagai jabatan strategis di pemerintahan.
Pelantikan para pelanggar HAM dinilai berbanding terbalik dengan janji politik Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Kita lihat sekarang, yang dilakukan oleh Jokowi adalah melantik para penculik dan pelanggar HAM," kata Tioria dalam keterangannya di Kantor KontraS, Kamis (20/10).
Tioria menilai, pilihan politik Jokowi tersebut, menimbulkan permasalahan baru bagi penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Salah satunya, pengangkatan Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam Jaya.
Menurut dia, hal ini merupakan permasalahan serius. Sebab, Untung Budiharto telah terbukti di pengadilan secara sewenang-wenang, menggunakan jabatan militernya untuk menculik dan menyiksa masyarakat sipil pada kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998.
Namun, anggota tim mawar Kopassus tersebut sekarang diberikan jabatan penting dalam tubuh TNI. Hal ini, kata Tioria, menunjukkan absennya mekanisme vetting dalam sektor pertahanan keamanan.
"Mekanisnme vetting adalah memeriksa rekam jejak dari orang yang kemudian akan diangkat sebagai pejabat publik. Berarti sampai saat ini masih nggak ada (mekanisme vetting) kalau para penculik itu masih bisa dilantik," ujar Tioria.
Keistimewaan "penjahat HAM menjadi pejabat" tak hanya dilanggengkan dengan absennya penghukuman bagi para pelaku, namun diperkuat secara sistematis melalui sistem hukum Indonesia yang turut membuat TNI menjadi unsur yang superior dan tidak dapat tersentuh oleh hukum.
Surat Keputusan Panglima TNI atas pengangkatan Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya ini pernah digugat oleh keluarga korban penghilangan paksa 1997/1998 bersama koalisi masyarakat sipil kepada PTUN maupun Pengadilan Militer Tinggi II. Namun, ujar Tioria, gugatan tersebut ditolak dengan alasan kekosongan hukum.
"Kita lihat sekarang, ternyata Panglima TNI putusannya masih enggak bisa disentuh oleh hukum," ucapnya.
Dalam laporannya, KontraS menyatakan pemberian karpet merah bagi terduga pelaku penjahat HAM di era pemerintahan Jokowi akan menyulitkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM dan tata kelola pemerintahan yang berbasis HAM.
Tidak diselesaikannya kasus masa lalu, terbukti akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum atas kekerasan yang dilakukan aparat negara di masa yang akan datang. Dalam hal ini, anggota militer atau pejabat negara yang melakukan berbagai kekerasan terhadap masyarakat sipil tidak bisa diproses dan diadili secara hukum sesuai standar HAM internasional.
"Pelaku pelanggar HAM berat yang dapat melenggang bebas tanpa pertanggungjawaban hukum menjadi cerminan akutnya kultur impunitas dan mangkraknya agenda penuntasan pelanggaran HAM berat di era pemerintahan Joko Widodo," tulis KontraS.