Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyatakan negara hingga kini masih cenderung melindungi aktor utama pembunuh Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir Said Thalib. Itu terlihat dari para terduga yang terlibat hingga kini masih melenggang bebas tak pernah diadili.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, menjelaskan persoalan utama dalam penyelesaian kasus pembunuhan Munir karena negara yang masih menempatkan pendiri KontraS tersebut sebagai ancaman. Kiprahnya selama ini dianggap pemerintah tidak sepadan dengan sumbangsih yang pernah diberikan untuk Indonesia.
“Munir masih dianggap (negara) sebagai sebuah ancaman. Munir dianggap sebagai sebuah ketakutan. Munir dianggap sebagai sebuah persoalan,” kata Yati dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Senin (23/9).
Menurut Yati, apabila cara pandang negara terhadap Munir tak berubah atau masih bertahan seperti itu, maka dapat dipastikan pengungkapan secara hukum dan politik kasus pembunuhan Munir masih akan sulit.
“Akhirnya alih-alih menangkap atau menghukum pelaku, Pemerintah justru malah menggunakan kekuasaannya, memberikan perlindungan bagi para terduga atau aktor pembunuhan Munir," kata Yati.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang juga terlibat dalam Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis Munir mengungkapkan bahwa peristiwa terbunuhnya Munir merupakan sebuah konspirasi kejahatan.
Temuan itu, menurutnya, tertuang dalam laporan pertama yang diberikan TPF ketika itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 3 Maret 2005 silam. Atas temuan tersebut, kemudian menampik dugaan kalau kasus pembunuhan Munir dilatarbelakangi oleh motif perseorangan.
"Tim pencari fakta tidak melihat adanya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kejahatan ini (pembunuhan Munir) dilakukan oleh perseorangan dengan motif pribadi," kata Usman.
Menurutnya, hasil tersebut saat itu bersifat rahasia dan hanya diperuntukkan bagi penyidikan di pihak kepolisian. Dari hasil kesimpulan itu, kemudian kepolisian melakukan pemeriksaan intensif terhadap sejumlah saksi hingga penetapan tersangka atas nama Pollycarpus Budihari Priyanto.
"Kutipan semacam itu (kejahatan konspirasi), saat itu bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan penyidikan Polri. Hasilnya dari laporan pertama tersebut adalah pihak kepolisian melakukan pemeriksaan intensif terhadap sejumlah saksi, bukti, hingga akhirnya menyusut dengan penetapan tersangka Pollycarpus," ucapnya.
Sedangkan laporan kedua pada 23 Juni 2005, TPF kembali mengungkap bahwa dalam kasus pembunuhan Munir terdapat pemufakatan jahat yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
Dalam menggunakan istilah pemufakatan jahat tersebut, dia mengatakan, karena terdapat sejumlah pihak yang berperan menjadi aktor lapangan, orang yang mempermudah, aktor perencana, dan pihak yang mengambil keputusan atau inisiator.
"Nama-namanya sudah kami sebutkan di dalam laporan. Kurang lebih seperti itu peristiwa kematian Munir. Kasus ini kami lihat sebagai pemufakatan jahat yang mengakibatkan kematian atau kejahatan yang bersifat konspiratif, bukan kejahatan yang dilakukan oleh perorangan dengan motif pribadi,” kata Usman.