close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi personel TNI. Foto Antara/Umarul Faruq
icon caption
Ilustrasi personel TNI. Foto Antara/Umarul Faruq
Nasional
Rabu, 05 Oktober 2022 06:41

KontraS soroti okupasi TNI dan pendekatan militeristik di ruang sipil

KontraS mendesak pemerintah melakukan moratorium kebijakan dan mengevaluasi secara serius permasalahan yang ada pada tubuh kemiliteran.
swipe

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kembali peran dan fungsi TNI. Berdasarkan hasil pemantauan Oktober 2021-September 2022, terjadi fenomena merebaknya agenda militerisme.

Hal tersebut, menurut KontraS, menjadikan instrumen kekuatan militer sebagai pendukung jalannya kekuasaan dan tecermin dalam berbagai tindakan.

"Dalam kurun setahun ini saja, anggota militer aktif ataupun yang berstatus purnawirawan tak malu menunjukan eksistensi untuk duduk di posisi strategis dalam kancah perpolitikan," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, dalam keterangannya, dikutip Rabu (5/10).

Fatia menuturkan, berbagai langkah dilakukan untuk menunjukkan eksistensi TNI di kancah politik. Misalnya, menempatkan personel TNI di jabatan kementerian hingga menjadi penjabat (pj) kepala daerah.

KontraS juga menyoroti langkah yang diambil untuk menjadikan sipil berwatak militer. Misalnya, mengaktifkan komponen cadangan (komcad) berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN), dan Resimen Mahasiswa (Menwa) sebagai komponen pertahanan.

"Situasi ini tentu semakin memperparah konflik horizontal di tengah masyarakat, seperti halnya dalam demonstrasi ataupun ragam konflik agraria di berbagai wilayah tanah air," ujar dia.

Permasalahan lain yang menjadi catatan KontraS adalah budaya kekerasan di tubuh institusi militer yang tak kunjung usai. Hasil pemantauan KontraS menemukan, terdapat 61 peristiwa kekerasan melibatkan anggota TNI. Fatia menekankan, angka tersebut tak menggambarkan peristiwa kekerasan secara keseluruhan.

"Tidak jarang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan aparat TNI diselesaikan lewat jalur damai dan tidak terliput oleh media nasional maupun lokal. Angka yang kami catat, tahun ini juga meningkat dari laporan tahunan sebelumnya yang menunjukan terdapat 54 peristiwa," ungkap Fatia.

Menurut Fatia, budaya kekerasan di tubuh militer terus berlanjut, khususnya di Papua. Fatia menilai, situasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh militeristik yang sangat kental, di mana pemerintah Indonesia masih percaya pendekatan militeristik dapat menyelesaikan permasalahan struktural di Papua.

Dalam hal ini, pasukan silih berganti terus diturunkan menempati pos-pos militer di Papua. Menurut Fatia, pendekatan itu menciptakan terus jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda bagi warga sipil di Papua.

"Hal ini memantik trauma berkepanjangan yang dialami orang asli Papua (OAP) atas parade kekerasan yang terjadi," ujarnya.

Disampaikannya, pendekatan yang dibangun dengan pengerahan aparat gabungan TNI-Polri tak kunjung mengalami perbaikan signifikan. Langkah tersebut hanya memantik kontak tembak lanjutan dan akhirnya mengorbankan masyarakat sipil yang tak bersalah.

"Sayangnya, pendekatan yang dipilih tersebut tanpa mekanisme koreksi yang layak," tutur Fatia.

Menurutnya, menguatnya peran militer untuk mengokupasi ruang sipil menjadi salah satu penanda Indonesia kembali ke jurang militerisme. Fatia mengungkapkan, hal ini harus dijadikan sebagai masalah serius institusi, khususnya profesionalitas TNI dalam kerangka negara demokrasi.

"Begitupun dalam konteks militerisasi sipil, berbagai metode yang tak relevan harus dihentikan karena justru kontraproduktif terhadap agenda penguatan pertahanan," terang dia.

Atas pertimbangan tersebut, KontraS mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya melakukan moratorium kebijakan dan mengevaluasi secara serius permasalahan yang ada pada tubuh kemiliteran. Menurutnya, TNI harus dituntut profesional menyelesaikan tugas-tugas pokoknya dalam sektor pertahanan sesuai amanat UU TNI.

"Presiden juga harus menegur bawahannya yang terus berupaya untuk menyeret kembali TNI masuk ke ranah sipil," papar Fatia.

Kemudian, KontraS mendesak Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, menghentikan segala aktivitas yang dilakukan komcad mengingat proses uji materi terhadap UU PSDN masih berjalan di Mahkamah Konstitusi (MA). Selain itu, Komcad juga berpotensi menghadirkan konflik di tengah-tengah masyarakat.

"Segala bentuk untuk memiliterkan warga sipil juga harus dihentikan. Ketimbang memiliterisasi sipil, lebih baik TNI memperkuat kelembagaan dan melakukan modernisasi alutsista," ungkap Fatia.

Lalu, mendesak Panglima TNI menyusun strategi guna memutus rantai kekerasan yang dilakukan prajuritnya terhadap masyarakat. Pengawasan yang dilakukan atasan antarsatuan tingkatan harus ketat untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran.

Fatia menilai, para pelaku kekerasan harus bertanggung jawab lewat mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel agar memantik efek jera.

"Panglima TNI juga harus mengarusutamakan hak asasi manusia (HAM) dalam regulasi atau kebijakan yang diterbitkan agar nilai tersebut terinternalisasi secara baik terhadap para prajurit," jelas dia.

Berikutnya, mendesak pemerintah bersama DPR menghentikan segala bentuk pendekatan militeristik dan sekuritisasi di Papua. Metode penerjunan aparat dan pendirian posko militer harus dievaluasi karena terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua.

"Pendekatan atau operasi harus mengedepankan cara-cara persuasif dan tidak mengedepankan kontak senjata, utamanya dalam menghadapi kelompok yang ingin memisahkan diri. Sebab, pendekatan dengan senjata juga akan berimplikasi pada jatuhnya korban sipil," tegas Fatia.

Terakhir, mendesak lembaga pengawas eksternal mengawasi kinerja TNI secara kritis, khususnya dalam sektor HAM. Dalam konteks ini, Komisi I DPR selaku lembaga yang juga memiliki fungsi regulasi harus mendorong revisi terhadap UU Peradilan Militer karena sejauh ini menjadi sarang impunitas prajurit dan bertentangan dengan asas equality before the law.

"Komnas HAM dan Ombudsman RI harus bertindak proaktif saat terjadi pelanggaran yang melibatkan institusi militer sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Begitupun LPSK, harus bertindak segera untuk memberikan reparasi dan perlindungan terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum/HAM yang melibatkan TNI," pungkas dia.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan