Kontroversi wacana kembalinya TNI ke institusi sipil
Wacana kembalinya dwifungsi militer mengemuka setelah beberapa waktu lalu Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto berencana membuat kebijakan memberi posisi kepada perwira tinggi dan perwira menengah untuk berkarier di kementerian dan lembaga.
Pos jabatan baru ini memiliki tujuan menampung perwira tinggi yang menumpuk di tubuh TNI. Salah satu usulannya, restrukturisasi dan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Usulan ini didukung Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Sebuah langkah mundur
Sontak, wacana ini mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak. Sebab, penghapusan dwifungsi TNI/Polri merupakan salah satu amanat reformasi 1998.
Mantan aktivis 1998 Iwan Nurdin menolak usulan kembalinya militer ke ranah sipil. Ia menilai, apa yang diwacanakan Panglima TNI sama juga membalikan agenda reformasi TNI menuju TNI yang profesional, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang TNI.
“Saya menolak keras TNI masuk ke jajaran birokrasi sipil. Bahkan, bukan hanya TNI, tapi juga polisi. Apalagi alasan pembenarnya karena persoalan sistem kaderisasi dan penempatan karier di TNI yang mandek,” kata mantan Wakil Ketua Dewan Kota Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta tahun 1998 ini, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Senin (25/2).
Di dalam Pasal 2 (d) UU No. 37 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan, tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Mengacu bunyi pasal tersebut, menurut Iwan, wacana untuk mengeluarkan militer dari barak tentu tak bisa dibenarkan.
Seharusnya untuk mengatasi banyaknya perwira yang tak lagi punya jabatan di tubuh TNI, kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini, ada perubahan radikal sistem promosi dan demosi tentara, serta aturan jenjang karier yang jelas.
Sementara itu, sejarawan Andi Achdian berpandangan, usulan Panglima TNI tersebut sebagai langkah mundur. Menurut doktor sejarah dari Universitas Indonesia ini, reformasi TNI merupakan sebuah langkah yang harus dikedepankan dalam proses demokrasi di Indonesia.
Wacana ini, kata Andi, mengingatkan publik terhadap memori kolektif kedudukan angkatan bersenjata di masa Orde Baru, sebagai penopang kekuasaan. Ia mengatakan, wacana tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik kontemporer.
“Saya melihat ini upaya pemerintah yang sekarang untuk mendulang dukungan politik dari keluarga tentara. Kan keluarga tentara sekarang kan banyak ya,” tuturnya, ketika dihubungi, Selasa (26/2).
Andi melanjutkan, seharusnya tentara dikembalikan kedudukannya sesuai fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Menempatkan tentara di posisi yang semestinya, kata Andi merupakan upaya untuk menjaga profesionalitas yang dimiliki setiap personel.
“Ini adalah problem lama yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mencampuradukkan jabatan militer dan politik,” kata dia.
Usai reformasi, posisi menteri pertahanan kata Andi sempat dipegang sipil, yakni Mahfud MD saat pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sayangnya, setelah itu jabatan menhan kembali jadi langganan purnawirawan.
“Munculnya ide ini (menempatkan kembali militer di ranah sipil) menandai bahwa reformasi sudah usai,” kata Andi.
Khawatir timbul gesekan
Andi mengatakan, praktik mengembalikan keduduran militer ke dalam institusi sipil sebagai penanda berakhirnya era reformasi. Menurutnya, saat ini Indonesai memasuki era baru.
“Sebuah era yang kita tidak tahu akan lebih baik atau buruk ke depannya,” ucap Andi.
Sementara itu, Iwan Nurdin menilai, peningkatan peran kepolisian dalam tugas nonkeamanan, ikut menciptakan kecemburuan di kalangan militer. Ia mensinyalir, hal itu mendorong para petinggi militer untuk berupaya mengembalikan lagi “kemewahan” yang pernah mereka miliki, seperti di masa Orde Baru.
“Misalnya, peran Brimob (Brigade Mobil) yang menjaga perkebunan-perkebunan di daerah,” tutur Iwan.
Iwan melihat, setelah reformasi, polisi perannya malah meluas. Sedangkan TNI seperti dianaktirikan.
Di sisi lain Andi Achdian menilai, jabatan yang diemban perwira TNI di institusi sipil dikhawatirkan dapat memunculkan gesekan di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Garis komando yang mengiringi gerak para prajurit menjadi alasannya.
“Kita kan enggak tahu apakah loyalitas prajurit ini nanti pada atasannya di birokrasi, atau pada panglimanya. Kalau satu ke sini satu ke situ, kan pemerintahan jadi enggak jalan,” katanya.
Namun, ia mencatat, selama perwira TNI bisa melepaskan jabatannya sebagai alat pertahanan negara, baru berhak memperoleh jabatan di instansi pemerintah. Sebab, menurut Andi, pasti banyak di antara perwira itu yang punya keahlian dalam bidang tertentu.
“Kalau mereka masih pegang senjata, kan posisinya beda antara mereka yang pegang pelor dengan kita yang pegang pena,” tuturnya.
Wacana kembalinya dwifungsi militer mengemuka setelah beberapa waktu lalu Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto berencana membuat kebijakan memberi posisi kepada perwira tinggi dan perwira menengah untuk berkarier di kementerian dan lembaga.
Pos jabatan baru ini memiliki tujuan menampung perwira tinggi yang menumpuk di tubuh TNI. Salah satu usulannya, restrukturisasi dan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Usulan ini didukung Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Sebuah langkah mundur
Sontak, wacana ini mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak. Sebab, penghapusan dwifungsi TNI/Polri merupakan salah satu amanat reformasi 1998.
Mantan aktivis 1998 Iwan Nurdin menolak usulan kembalinya militer ke ranah sipil. Ia menilai, apa yang diwacanakan Panglima TNI sama juga membalikan agenda reformasi TNI menuju TNI yang profesional, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang TNI.
“Saya menolak keras TNI masuk ke jajaran birokrasi sipil. Bahkan, bukan hanya TNI, tapi juga polisi. Apalagi alasan pembenarnya karena persoalan sistem kaderisasi dan penempatan karier di TNI yang mandek,” kata mantan Wakil Ketua Dewan Kota Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta tahun 1998 ini, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Senin (25/2).
Di dalam Pasal 2 (d) UU No. 37 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan, tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Mengacu bunyi pasal tersebut, menurut Iwan, wacana untuk mengeluarkan militer dari barak tentu tak bisa dibenarkan.
Seharusnya untuk mengatasi banyaknya perwira yang tak lagi punya jabatan di tubuh TNI, kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini, ada perubahan radikal sistem promosi dan demosi tentara, serta aturan jenjang karier yang jelas.
Sementara itu, sejarawan Andi Achdian berpandangan, usulan Panglima TNI tersebut sebagai langkah mundur. Menurut doktor sejarah dari Universitas Indonesia ini, reformasi TNI merupakan sebuah langkah yang harus dikedepankan dalam proses demokrasi di Indonesia.
Wacana ini, kata Andi, mengingatkan publik terhadap memori kolektif kedudukan angkatan bersenjata di masa Orde Baru, sebagai penopang kekuasaan. Ia mengatakan, wacana tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik kontemporer.
“Saya melihat ini upaya pemerintah yang sekarang untuk mendulang dukungan politik dari keluarga tentara. Kan keluarga tentara sekarang kan banyak ya,” tuturnya, ketika dihubungi, Selasa (26/2).
Andi melanjutkan, seharusnya tentara dikembalikan kedudukannya sesuai fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Menempatkan tentara di posisi yang semestinya, kata Andi merupakan upaya untuk menjaga profesionalitas yang dimiliki setiap personel.
“Ini adalah problem lama yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mencampuradukkan jabatan militer dan politik,” kata dia.
Usai reformasi, posisi menteri pertahanan kata Andi sempat dipegang sipil, yakni Mahfud MD saat pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sayangnya, setelah itu jabatan menhan kembali jadi langganan purnawirawan.
“Munculnya ide ini (menempatkan kembali militer di ranah sipil) menandai bahwa reformasi sudah usai,” kata Andi.
Khawatir timbul gesekan
Andi mengatakan, praktik mengembalikan keduduran militer ke dalam institusi sipil sebagai penanda berakhirnya era reformasi. Menurutnya, saat ini Indonesai memasuki era baru.
“Sebuah era yang kita tidak tahu akan lebih baik atau buruk ke depannya,” ucap Andi.
Sementara itu, Iwan Nurdin menilai, peningkatan peran kepolisian dalam tugas nonkeamanan, ikut menciptakan kecemburuan di kalangan militer. Ia mensinyalir, hal itu mendorong para petinggi militer untuk berupaya mengembalikan lagi “kemewahan” yang pernah mereka miliki, seperti di masa Orde Baru.
“Misalnya, peran Brimob (Brigade Mobil) yang menjaga perkebunan-perkebunan di daerah,” tutur Iwan.
Iwan melihat, setelah reformasi, polisi perannya malah meluas. Sedangkan TNI seperti dianaktirikan.
Di sisi lain Andi Achdian menilai, jabatan yang diemban perwira TNI di institusi sipil dikhawatirkan dapat memunculkan gesekan di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Garis komando yang mengiringi gerak para prajurit menjadi alasannya.
“Kita kan enggak tahu apakah loyalitas prajurit ini nanti pada atasannya di birokrasi, atau pada panglimanya. Kalau satu ke sini satu ke situ, kan pemerintahan jadi enggak jalan,” katanya.
Namun, ia mencatat, selama perwira TNI bisa melepaskan jabatannya sebagai alat pertahanan negara, baru berhak memperoleh jabatan di instansi pemerintah. Sebab, menurut Andi, pasti banyak di antara perwira itu yang punya keahlian dalam bidang tertentu.
“Kalau mereka masih pegang senjata, kan posisinya beda antara mereka yang pegang pelor dengan kita yang pegang pena,” tuturnya.
Tak menyalahi aturan
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan, tak paham dengan perspektif orang-orang yang melontarkan wacana Panglima TNI sebagai upaya untuk mengembalikan dwifungsi TNI.
Menurut Muradi, yang dimaksud Panglima TNI adalah posisi-posisi yang masih berkaitan dengan pertahanan negara, dan sebagian juga sudah diatur dalam undang-undang TNI.
“Secara prinsipil tidak menyalahi aturan yang berlaku. Karena posisi yang akan diisi kan kayak Bakamla (Badan Keamanan Laut), BNN (Badan Narkotika Nasional), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), atau Basarnas (Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan). Masih berkaitan sama pertahanan,” ujar Muradi ketika dihubungi, Selasa (26/2).
Pengamat polisi, pertahanan, dan keamanan ini merujuk Pasal 37 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang TNI.
Di dalam pasal tersebut tertulis, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan mahkamah agung.
“Sejauh para prajurit aktif tersebut telah terlebih dahulu meninggalkan jabatannya di ketentaraan,” ujarnya.
Hanya saja, kata Muradi, ketentuan ini harus dilindungi payung hukum yang jelas. Ia mengatakan, jabatan yang diisi tentara di Bakamla dan BNPT, belum diatur dalam undang-undang.
Hal ini, kata dia, seharusnya diperhatikan terlebih dahulu oleh pemerintah, agar tak ada tumpang-tindih atau kekhawatiran yang muncul di masyarakat.
Di berbagai negara maju, menurut Muradi, dewasa ini memakai pendekatan The Copenhagen School dalam urusan pertananan, di mana pertahanan tak lagi dibayangkan sebagai menjaga kedaulatan negara dari ancaman eksternal. Akan tetapi, lebih kepada perlindungan orang per orang.
Itulah kenapa, sebut Muradi, di berbagai tempat TNI ikut dalam upaya menjaga kedaulatan pangan, penyuluhan pertanian untuk meningkatkan produktifitas petani, dan terlibat dalam menanggulangi kesehatan warga.
“Perspektif ini yang membuat kita tidak ketemu dengan para penolak itu,” kata Muradi.
Solusi terbaik
Muradi memaklumi wacana yang dilontarkan Panglima TNI. Sebab, sejak dimulainya reformasi di tubuh TNI pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah tak mempersiapkan infrastruktur jabatan lainnya. Hal ini mengakibatkan, 800 personel TNI tak punya jabatan.
“Ada kolonel bintang satu dan dua yang non-job. Itu juga bahaya untuk ke depannya. Ini bisa suatu waktu meledak kalau dibiarkan, akan menimbulkan ketidakpuasan,” katanya.
Staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini menambahkan, langkah yang akan diambil Panglima TNI itu merupakan langkah ringkas untuk menghindarkan konflik yang mungkin saja timbul di tubuh TNI.
“Pilihannya hanya dua, diberhentikan atau dicarikan posisi lainnya. Dan pilihan Panglima Hadi adalah pilihan yang paling bijak,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Selasa (26/2), Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono mengatakan, selama ini sebenarnya perwira aktif TNI masuk lembaga nonmiliter, seperti Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenpolhukam) sudah ada.
Akan tetapi, publik tak mempermasalahkan, karena memang sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi), serta kompetensi militer. Penolakan terjadi jika TNI masuk ke institusi lainnya di luar tupoksi tersebut.
Dosen FISIP Universitas Al-Azhar ini mengatakan, meski pemerintah tidak menggunakan istilah dwifungsi TNI, namun publik menangkap arahnya ke sana. Ia menilai, bila masalahnya kelebihan perwira TNI, bisa mencari solusi lain.
“Banyak cara yang bisa di-create selain memasukkan TNI ke birokrasi sipil,” tuturnya.