close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat. Foto: Istimewa.
icon caption
Kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat. Foto: Istimewa.
Nasional
Senin, 21 November 2022 13:41

Kasus kerangkeng manusia di Langkat, korban alami penyiksaan berulang

Korban mengalami penyiksaan dengan rentang waktu sekitar 7-14 hari sejak pertama kali dikerangkeng.
swipe

Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) menemukan penyiksaan yang dilakukan terhadap korban kerangkeng manusia milik Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin Angin (TRP) sarat pelanggaran hukum dan HAM.

Pada hasil investigasi TAP-HAM yang terdiri dari LSM KontraS, KontraS Sumatera Utara, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), setidaknya ada delapan temuan dalam perkara ini. Salah satunya adalah penyiksaan yang dilakukan sebagai bentuk masa orientasi.

Pendamping hukum dari KontraS, Andrie Yunus mengungkapkan, korban mengalami penyiksaan dengan rentang waktu sekitar 7-14 hari sejak pertama kali dimasukkan ke dalam kerangkeng.

"Rentetan tindak penyiksaan yang dialami korban sangat beragam, dan tindakan penyiksaan tersebut beberapa kali dialami selama dalam kurun waktu tersebut," ujarnya.

Bentuk penyiksaan tersebut di antaranya korban diminta melakukan gantung monyet, atau dengan kedua tangan dan kaki memegang dan menggantung pada jeruji besi. Kemudian, para terduga pelaku melakukan cambukan menggunakan selang kompresor kepada korban.

Lebih lanjut, Andrie menjelaskan bahwa penyiksaan itu juga merupakan bentuk penghukuman bagi para penghuni yang melarikan diri dari kerangkeng. Selain itu, korban juga mengalami kekerasan seksual oleh para terduga pelaku.

"Korban yang kabur hingga akhirnya tertangkap kembali, dia justru mendapatkan tindakan penyiksaan dan kekerasan seksual oleh petugas kerangkeng. Bahkan, gradasi tingkat penyiksaan penghuni yang tertangkap setelah berusaha melarikan diri itu cukup parah," tutur Andrie.

Kemudian, lanjut Andrie, pihaknya juga menemukan adanya anak-anak yang turut menjadi korban dari kerangkeng manusia ini. Seperti halnya korban berusia dewasa, korban anak ini juga mendapatkan berbagai tindak penyiksaan hingga dieksploitasi dan dipaksa untuk bekerja.

Terkait hal ini, Andrie menyebut, pihaknya mengantongi dokumentasi terkait bekas luka pada fisik korban timbul akibat tindak penyiksaan yang terjadi. Selain itu, ditemukan juga sejumlah alat penyiksaan, mulai dari alat setrum, selang kompresor, plastik yang dilelehkan, martil, hingga batang jeruji besi.

"Alat-alat ini digunakan untuk melakukan tindak penyiksaan terhadap para korban," ucap dia.

Sementara, Manager Program PBHI Gina Sabrina menyebut, kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan secara jelas dan bersama-sama terhadap korban atau penghuni kerangkeng memenuhi unsur pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Gina menilai, penganiayaan dan penyiksaan yang terjadi merupakan tindakan kejam merendahkan martabat manusia, hingga menimbulkan luka fisik bahkan psikis. Hal ini adalah bentuk pelanggaran hukum pada perkara kerangkeng manusia ini.

"Sayangnya karena Indonesia belum mengadopsi pasal-pasal khusus tindak pidana terkait penyiksaan, sehingga pasal yang dikenakan masih terbatas pengeroyokan dan penganiayaan," ujarnya.

Namun, menurut Gina, baik hakim maupun jaksa di pengadilan memiliki celah atau kesempatan untuk mengoptimalkan tuntutan maupun vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku berproses di persidangan. Misalnya dengan melihat rantai komando tindak kekerasan atau penganiayaan berulang menggunakan alat-alat tertentu seperti martil atau selang.

"Itu sebenarnya bisa jadi unsur pemberat, yang harusnya hakim juga mempertimbangkan dan melihat itu secara komprehensif," tutur dia.

img
Gempita Surya
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan