Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan kasus perundungan terhadap anak-anak paling banyak didominasi oleh siswa Sekolah Dasar (SD). Diketahui, ada 25 kasus atau 67% yang tercatat oleh KPAI baik dari kasus yang disampaikan melalui pengaduan langsung maupun online sepanjang Januari sampai April 2019.
“Meskipun hanya empat bulan, ekspose hasil pengawasan ini sekaligus mengingatkan semua pemangku kepentingan, bahwa sekolah belum menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik,” kata Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti di Gedung di Jakarta pada Kamis, (2/5).
Berdasarkan data KPAI, dari 37 kasus terlapor, sebanyak 5 kasus terjadi pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), kemudian 6 kasus terjadi di jenjang sekolah menengah atas (SMA). Sementara sebanyak satu kasus terjadi pada jenjang perguruan tinggi (PT).
Adapun kasus pelanggaran hak anak berupa perundungan atau bullying di ranah pendidikan masih dominan, dan telah mencapai 12 kasus. Selanjutnya, anak pelaku perundungan terhadap guru 4 kasus, anak korban pengeroyokan 3 kasus, anak korban kekerasan fisik 8 kasus, dan anak korban kekerasan seksual 3 kasus.
Dari catatan tersebut, Retno menjelaskan, permasalahan anak korban perundungan cukup beragam. Meliputi anak dituduh mencuri, anak dibully teman-teman dan pendidiknya, saling ejek di dunia maya dan persekusi di dunia nyata, anak jadi korban pemukulan atau pengeroyokan. Juga sejumlah siswa SD dilaporkan ke polisi oleh pihak sekolah.
Selain itu, kata Retno, anak sebagai pelaku perundungan terhadap guru kemudian divideokan hingga akhirnya viral telah meningkat drastis di 2019. Bahkan, kata Retno, cakupan wilayahnya pun menyebar, di Gresik, Yogyakarta dan Jakarta Utara. Padahal, sebelumnya pada 2018 kasus perundungan semacam itu hanya terjadi di Kendal.
Lebih lanjut, anak jadi korban kebijakan ada 8 kasus. Permasalahannya meliputi diberikan sanksi mempermalukan, tidak memperoleh surat pindah, tidak bisa mengikuti ujian sekolah bahkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Juga terkait siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena terlibat tawuran. Ada juga anak ditolak sekolah karena mengidap penyakit HIV dan anak korban kekerasan seksual yang dikeluarkan dari sekolah.
Selain data pengaduan tersebut, Retno menuturkan, KPAI pun turut mencatat beberapa kasus anak korban pencabulan yang pelakunya adalah oknum guru maupun kepala sekolah. Data KPAI, ada 20 siswi yang jadi korban pelecehan seksual. Mereka berasal dari sebuah SD di Malang yang pelakunya merupakan oknum guru honorer.
Selain di Malang, kasus serupa juga terjadi di Kecamatan Liliaja Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Korbannya adalah 14 siswi SD. Bukan hanya itu, kasus pencabulan lainnya menimpa sejumlah siswi SD Kecamatan Cambai, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan dan seorang siswi SMK di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
"Kasus kekerasan terhadap anak memang masih termasuk fenomena gunung es. Kita tidak tahu seberapa banyak kasus yang tidak terlaporkan. Yang jelas, kita harus mendidik anak untuk berani mengungkapkan kekerasan yang dialami," kata Retno.