Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menyatakan jumlah korban meninggal akibat kerusuhan di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, sebanyak 31 orang. Pernyataan ini untuk mengklarifikasi kabar yang menyebut korban tewas dalam peristiwa tersebut sebanyak 33 orang.
"Sebenarnya yang tepat itu hanya 31 orang. Lima di antaranya tercatat meninggal di rumah sakit, sedangkan 26 lainnya meninggal sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan, dua korban lainnya, memang benar ditemukan meninggal dunia, namun bukan karena kerusuhan, melainkan karena sudah sakit sebelumnya," ujar Menkes Nila dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (30/9).
Dari total korban tewas tersebut, salah satu di antaranya merupakan seorang dokter bernama dr. Soeko Marsetiyo. Ia telah mengabdi lebih kurang 15 tahun di Papua. Saat kerusuhan, Soeko juga membantu perawatan para korban kerusuhan di sana.
Selain korban jiwa, kerusuhan Wamena juga mengakibatkan 98 warga lainnya terluka. Dari jumlah tersebut, 14 di antaranya masih menjalani perawatan di Wamena, 22 orang sudah dirujuk ke Jayapura, sedangkan 62 warga lainnya telah ditangani dan dipulangkan dengan kondisi selamat.
Kerusuhan yang terjadi juga mengakibatkan ribuan warga mengungsi ke Jayapura. Hingga Senin malam, gelombang pengungsi dari Wamena ke Jayapura melalui Pangkalan Udara Silas Papare telah mencapai 5.588 orang.
Komandan Lanud Silas Papare Marsma TNI Tri Bowo Budi Santoso mengatakan, pihaknya menggunakan dua pesawat hercules dengan total tujuh penerbangan.
"Pesawat hercules yang kami gunakan yakni A-1336 dengan tiga sorti dan A-1305 dengan empat sorti," katanya.
Menurut Tri, tiap sorti penerbangan mengangkut sebanyak 160-170 orang. Para pengungsi yang hendak dievakuasi, dapat langsung mendaftar ke detasemen Wamena untuk dilakukan pendataan.
"Pengungsi yang diutamakan akan dievakuasi turun dari Wamena ke Jayapura yakni wanita dan anak-anak," ujarnya.
Kerusuhan di Wamena bermula dari aksi unjuk rasa yang dilakukan siswa berbagai sekolah sejak 23 September 2019 lalu. Nahasnya, aksi demonstrasi berujung rusuh hingga terjadi pembakaran rumah warga, kantor pemerintah, PLN, dan sejumlah kios milik masyarakat.
Unjuk rasa dipicu oleh kabar yang menyebar di media sosial, yang menyebut adanya ujaran rasial seorang guru pada siswanya. Namun menurut aparat kepolisian, informasi tersebut merupakan kabar bohong alias hoaks. (Ant)