Korporasi kawasan hutan dan multitafsir putusan MK soal UU Ciptaker
Sejak 16 tahun lalu, warga Kampung Tuah Indrapura, Riau, tak bisa hidup tenang. Perselisihan lahan dengan PT Teguh Karsa Wana Lestari (PT TKWL) menjadi penyebabnya. Jalan rusak akibat kendaraan proyek yang melintas, tersingkirnya hunian dan perkebunan, serta intimidasi menjadi bagian dari kegelisahan warga.
“Intinya, masyarakat selalu dibuat resah oleh mereka (PT TKWL),” kata seorang tokoh masyarakat Kampung Tuah Indrapura, Anton, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (24/12).
“Mereka katakan sudah punya izin, padahal belum.”
Konflik bermula saat PT TKWL mendapat izin hak guna usaha (HGU) lahan seluas 7.094 hektare pada 1998. Lahan itu ada di dua daerah, yakni Kecamatan Siak dan Bunga Raya, Riau. Korporasi itu baru menggarap lahan pada 2005. Padahal, warga sudah menggarap lahan itu pada 1998 hingga 2005.
Menurut Anton, warga yang menggarap lahan itu tak melanggar hukum. Sebab, kapling yang digarap sudah mendapat hak pengelolaan atas lahan transmigrasi seluas 2.400 hektare di Kecamatan Bunga Raya.
“Warga telah mendapat izin untuk membuka perkebunan di atas lahan tersebut dari pihak kepala desa,” ujarnya.
Sebaliknya, Anton mengatakan kegiatan usaha PT TKWL yang fokus pada komoditi kelapa sawit itu ilegal karena tak masuk dalam daftar perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Siak.
“Hingga saat ini, perusahaan itu belum punya amdal (analisis dampak lingkungan),” tuturnya.
Sebenarnya, mediasi hingga tingkat DPRD Provinsi Riau dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah dilakukan. Kesimpulannya, kegiatan usaha di atas lahan itu tak diizinkan. Namun, PT TKWL tetap ngotot bertahan dengan iming-iming ganti rugi lahan dan hunian warga.
“Ya, kami tetap tidak mau,” ujar Anton.
Anton menjelaskan, perusahaan itu sudah menelantarkan lahan selama lima tahun berturut-turut, yang dalam regulasi seharusnya perizinannya dicabut.
Pemutihan dan UU Ciptaker
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, kegiatan usaha PT TKWL harus dievaluasi karena telah menelantarkan hutan selama lima tahun. Hal itu berdasarkan beberapa kasus perselisihan penelantaran lahan yang diputus Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam sejumlah putusan, kata Boy, prinsip perizinan pengelolaan tanah harus dilakukan aktivitas usaha di atas lahan paling lama lima tahun sejak diterbitkan izin.
“(Kegiatan usaha PT TKWL) secara hukum legal, tetapi secara kepatutan seharusnya dia sudah dievaluasi sejak 2005,” kata Boy, Sabtu (25/12).
Menyelisik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Boy mengatakan, sanksi yang ada dalam beleid itu tak akan efektif membuat jera korporasi ilegal.
“Sekarang kan didorong penggunaan sanksi administratif. Apakah itu efektif? Sementara sarana dan fasilitasnya terbatas, memang dia dijatuhi denda?” ucap Boy.
Di dalam Pasal 110A ayat (2) UU Ciptaker disebutkan, pelaku bisa dijatuhi sanksi administratif berupa pembayaran denda dan/atau pencabutan izin usaha bila setelah lewat tiga tahun sejak diberlakukan undang-undang tak menyelesaikan persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Sedangkan dalam Pasal 110B ayat (1) disebutkan, setiap orang yang melakukan pelanggaran di kawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya undang-undang ini dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah.
Di dalam UU Ciptaker, tak ada aturan terkait penyelesaian konflik lahan antara warga dan perusahaan. “Ada (UU Ciptaker) ini enggak menghentikan (masalah) sebenarnya,” ujar Boy.
Regulasi “sapu jagat” yang disahkan Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 itu juga memberi angin bagi korporasi ilegal dalam menjalankan kegiatan usaha. Hal itu tercermin pada Pasal 110A ayat (1), yang menyebut setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di dalam kawasan hutan, sebelum diberlakukan undang-undang ini yang belum memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun sejak undang-undang ini berlaku.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana menilai, regulasi tersebut sama saja merencanakan kerusakan ekologi. Ironisnya, ia mengatakan, ada lebih dari 360 perusahaan di kawasan hutan, baik tambang maupun perkebunan, yang diberi pemutihan.
“Wah, enak sekali,” kata dia saat dihubungi, Rabu (22/12).
“Negara harus hentikan kebijakan (pemutihan di UU Ciptaker) itu. Aturan turunan yang membiarkan pemutihan untuk perusahaan di kawasan hutan harus disetop.”
Menurut Boy, segala aktivitas usaha yang dijalankan korporasi ilegal di kawasan hutan dapat ditunda setelah keluar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji formil UU Ciptaker pada Kamis (25/11). Putusan tersebut menyatakan, proses legislasi UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan pemerintah diminta merevisi dalam waktu dua tahun sejak putusan dibacakan.
“Bagi kami, putusan MK itu harus menunda semua pelaksanaan UU Ciptaker, baik yang sudah diterbitkan atau yang belum,” tuturnya.
Sementara Wahyu meminta Presiden Jokowi dapat mematuhi putusan MK soal UU Ciptaker. Baginya, sikap pemerintah yang masih memberlakukan aturan UU Ciptaker lantaran menganggap tak ada pasal yang dibatalkan MK adalah keliru.
“Pembatalan itu uji formil, bukan uji materil. Uji formil itu bukan pasal per pasal,” ucapnya.
“Jadi dibatalkan, diputuskan inkonstitusional bersyarat. Apa syaratnya? Dalam dua tahun ini harus diperbaiki keseluruhan (undang-undang) itu.”
Multitafsir putusan MK
Namun, pada kenyataannya, putusan MK terkait UU Ciptaker memang memunculkan beragam interpretasi. Riset tim Alinea Insight sejak 25 November hingga 6 Desember 2021 menunjukkan, ada tujuh macam interpretasi yang berbeda terkait putusan MK soal UU Ciptaker.
Pertama, interpretasi bahwa UU Ciptaker tak boleh diberlakukan selama dua tahun. Salah satu tokoh yang melontarkan hal ini adalah Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Sartika. Ia menyatakan, putusan MK menandakan UU Ciptaker cacat secara formil, sehingga seluruh substansi yang terkandung dalam undang-undang beserta turunannya juga cacat.
Kedua, interpretasi kalau UU Ciptaker inkonstitusional dan tak boleh dipakai sama sekali. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon.
Ketiga, interpretasi bahwa UU Ciptaker masih berlaku meski dalam proses revisi. Beberapa tokoh yang menyatakan hal ini berasal dari Badan Legislasi DPR, pengusaha, dan pemerintah pusat. Salah satunya pernyataan Presiden Jokowi, yang menyebut UU Ciptaker masih berlaku usai putusan MK dan menjamin investasi tetap aman.
Keempat, interpretasi bahwa putusan MK tak tegas, memicu masalah baru, dan bernuansa politis. Tokoh yang menyatakan hal ini berasal dari anggota LSM dan pakar hukum.
Kelima, interpretasi bahwa putusan MK berdampak pada kecemasan investor asing. Keenam, interpretasi bahwa perbaikan undang-undang difokuskan pada kedaulatan pangan. Ketujuh, interpretasi kalau putusan MK diakibatkan kebijakan pemerintah yang antidemokrasi. Putusan MK yang multitafsir ini berdampak pada sektor buruh, ekonomi, hingga lingkungan—yang diatur dalam undang-undang “sapu jagat” tersebut.
Menanggapi hal ini, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah mengatakan, sikap pemerintah yang ngotot menerapkan UU Ciptaker semata-mata untuk menjaga citra investasi dalam negeri. Pemerintah, ungkap Trubus, juga ingin mempertahankan kewenagan sentralisasi terkait investasi.
“Kalau di undang-undang lama, kewenangan investasi ada di pemerintah daerah, bukan pusat,” ujar Trubus, Jumat (24/12).
“Maunya (pemerintah pusat) investasi tersentralisasi di bawah Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Lembaga Pengawasan Investasi (LPI).”
Terlepas dari itu, Trubus menyarankan, MK perlu menegaskan amar putusan terkait uji materil UU Ciptaker. Hal itu perlu dilakukan untuk memberi titik terang terkait multitafsir proses legislasi UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
“Kalau bertentangan, ya batalkan. Kalau ada materilnya yang dipersoalkan, ya sudah pasal berapa yang perlu diubah,” katanya.
“Ini kan disuruh revisi, tetapi enggak tahu pasal mana yang mau direvisi.”