Tiga terdakwa kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo telah dibacakan tuntutannya oleh jaksa penuntut umum (JPU). Komisaris PT Solitech Media Energy, Irwan Hermawan, misalnya, dituntut pidana 6 tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap Irwan Hermawan dengan pidana penjara selama 6 tahun," kata JPU saat membacakan tuntutan Irwan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/10). Tuntutan tersebut ringan lantaran JPU juga meminta Irwan ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dalam perkara a quo.
Kendati begitu, JPU tetap menuntut Irwan membayar denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan. Lalu, dituntut membayar uang pengganti Rp7 miliar atau harta bendanya akan disita kejaksaan dan dilelang jika tidak mampu membayarnya dalam tempo 1 bulan sesudah putusan pengadilan inkrah.
Sementara itu, bekas Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak, dituntut 15 tahun penjara dan membayar denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Adapun Account Director PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali, dituntut pidana 6 tahun dan membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kritik audit BPKP
Menurut pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, para terdakwa berpeluang mendapatkan vonis ringan dengan mengajukan audit ulang. Pangkalnya, potensi kerugian total (total loss) megaproyek BTS Rp8,03 triliun dalam kalkulasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap belum rampung bahkan tidak tepat.
Ia berpendapat demikian karena BPKP tidak mempertimbangkan ada pekerjaan yang masih berlanjut dan adanya pengembalian uang yang dilakukan konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada BAKTI.
Ketika permohonan audit ulang dikabulkan, sambungnya, hal itu bisa menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan kerugian negara yang sesungguhnya dan berdampak pada dakwaan JPU selama ini karena bisa dirasa keliru.
"Kalau itu dilakukan, hakim nanti akan berpedoman besaran kerugian itu sebagai instrumen penjatuhan pidana. Itu harus dilakukan. Jadi, produknya itu kritik tanpa audit. Kemudian, auditnya itu harus direvisi," tutur Mudzakkir, Selasa (31/10).
Mudzakkir melanjutkan, BPKP memiliki kemungkinan lalai dalam menghitung kerugian negara dalam megaproyek BTS. Sebab, bisa saja tidak mempertimbangkan kesulitan pekerjaan yang ada mengingat lokasi pekerjaannya berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Istilahnya 3T itu karena jauh dan di perbatasan juga. Mestinya itu, kan, dipertimbangkan juga,” jelasnya.
Megaproyek BTS, katanya mengingatkan, merupakan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pelaksanaannya sempat tertunda seiring terjadinya pandemi Covid-19. Karenanya, pelaksanaannya pada akhirnya mengikuti kebijakan pemerintah selama pagebluk.
Masih menurut Mudzakkir, BPKP hanya melihat kerugian negara hanya dari aspek pelaksanaan waktu. Namun, tidak memperhatikan situasi dan kondisi, apalagi ada kebijakan karantina saat pandemi.
Ia berpandangan, pelaksanaan megaproyek BTS hingga kini masih berjalan bahkan nyaris selesai. Artinya, hanya molor dari tenggat yang ditetapkan semula.
Diketahui, BPKP dan Kejagung menaksir kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam megaproyek BTS menembus Rp8,03 triliun. Nilai ini mengacu 3.242 menara yang belum selesai dibangun hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 menara yang harus dikerjakan.
Klarifikasi BAKTI Kominfo
Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Infrastruktur BAKTI Kominfo, Danny Januar Ismawan, mengatakan, megaproyek BTS tidak berhenti dan terus berjalan meski ada adendum perpanjangan waktu. Bahkan hingga Desember 2022, sudah ada 2.952 lokasi yang on air dan 2.190 yang sudah dilakukan berita acara pemeriksaan hasil pekerja (BAPHP) di luar dari 677 menara yang dikategorikan kahar.
Plt. Direktur Keuangan BAKTI Kominfo, Ahmad Juhari, dalam persidangan menambahkan, pembangunan BTS tahap I hanya sebesar 4.112 titik dari rencana awal sebanyak 4.200 menara. Nilai kontrak pembelian mencapai Rp10,8 triliun, termasuk pajak Rp1,3 triliun dan dipotong langsung.
Kemudian, pada April 2022, dilakukan pengembalian dari konsorsium sebesar Rp1,7 triliun yang masuk ke kas negara. Dengan demikian, pembayaran bersih kepada konsorsium pelaksana proyek berkisar Rp7,7 triliun-Rp7,8 triliun, lebih kecil daripada perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP.
Terdakwa sekaligus bekas Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif, pun angkat bicara. Melalui kuasa hukumnya, Aldres Napitupulu, ia menyampaikan, penghitungan yang dilakukan BPKP tidak benar karena pekerjaan BTS berlanjut sampai sekarang dan dapat dimanfaatkan. Itu, katanya, berdasarkan keterangan ahli, auditor, akuntan, dan ahli hukum keuangan negara yang dihadirkan ke persidangan.
"Ahli hukum keuangan negara tadi dengan tegas menyatakan bahwa harus benar penghitungannya. Berapa uang negara yang keluar itu baru bisa menilai kerugiannya berapa. Dalam perkara ini, kan, sudah ada uang yang dikembalikan. Jadi, nilai yang pasti dari uang negara itu hanya Rp7,7 triliun, tapi BPKP tetap menghitungnya sebesar Rp8 triliun," urainya.