Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, menggandeng Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus dugaan korupsi di tubuh perusahaan negara. Kolaborasi ini telah terbangun dalam beberapa tahun terakhir.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban, menyatakan, menyehatkan BUMN bukanlah persoalan mudah. Pangkalnya, ada beberapa persoalan mendasar di dalamnya.
Dicontohkannya jabatan komisaris atau dewan direksi yang diberikan kepada para pendukung penguasa. "Jadi, bagaimana BUMN mau sehat kalau itu dijadikan tempat bagi-bagi 'kue [kekuasaan]?'" katanya kepada Alinea.id, Selasa (7/3).
Jabatan komisaris atau dewan direksi juga umumnya diisi eselon I kementerian/lembaga negara atau rangkap jabatan (ex-officio). Kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).
"ICW baru-baru ini melakukan [kajian], satu contoh, misal, komisaris BUMN rangkap jabatan di sektor pengakan hukum, ada momen-momen dia itu lebih banyak absen dalam rapat dewan komisaris, rapat gabungan. Alasannya, karena kedinasan. Yang kayak gitu gimana mau melakukan pengawasan maksimal?" tanya dia.
Lola melanjutkan, sekalipun bekerja sama dengan swasta, beberapa BUMN memonopoli sektor strategis. Misalnya, pengelolaan energi dan air.
"Karakteristik seperti itu tentu ada power besar di BUMN. Makanya, yang sering menjadi problem itu kalau tidak dibarengin pengawasan yang sama powerful," ucapnya.
"ASABRI, Jiwasraya beberapa contoh [kasus korupsi BUMN] terkini. Kalau misal zaman dulu, Orba, ya lihat saja bagaimana Pertamina dikelola. Rawan sekali, akhirnya BUMN dijadikan 'kendaraan' untuk mencari keuntungan untuk segelintir orang," imbuhnya.
Sebagai informasi, Erick Thohir menyambangi Kejagung, Senin (6/3). Dalam pertemuan itu, dirinya menyetorkan kasus baru di BUMN.
Kejagung dan Kementerian BUMN belum mau terbuka atas kasus baru yang dilaporkan tersebut. Dalihnya, bakal didalami terlebih dahulu dalam 1-2 pekan ini.
Lola enggan berkomentar tentang efektivitas kerja sama tersebut mengingat ICW belum memiliki datanya. "Harus ditanya ke Kejaksaan Agung, berapa banyak persentasenya, baru bisa menilai efektif atau tidak."