Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan bekas General Manager (GM) PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Abdul Hadi Aviciena, sebagai tersangka kedua dalam kasus dugaan korupsi penjualan emas di Bukti Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 1 Antam. Tersangka pertama adalah pengusaha properti yang juga crazy rich Surabaya, Budi Said.
Budi Said dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan terancam pidana 20 tahun penjara. Sementara itu, Abdul Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, menerangkan, timnya sudah mengantongi 4 inisial lain yang terlibat dalam perkara serupa. Mereka adalah Kepala BELM Surabaya 1 Antam, Endang Kumoro (EA); Tenaga Administrasi BELM Surabaya I Antam, Misdianto (MD); General Trading Manufacturing and Service Senior Officer, Ahmad Purwanto (AP); dan calo bernama Eksi Anggraeni (EA).
"Saat ini, masih kami kaji konstruksi hukumnya [untuk keempat inisial]," ucapnya, Jumat (2/2).
Keempatnya tengah menjalani pemidanaan per Desember 2023 menyusul adanya vonis bersalah dan dihukum penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya atas kasus yang beririsan dengan perkara korupsi jual beli emas di BELM Surabaya 1 Antam. Perkara itu hanya terkait transaksi emas 152,8 kg senilai Rp92,2 miliar kepada Budi Said, sedangkan total emas yang dijual sebesar 7 ton.
Endang Kumoro, Misdianto, dan Ahmad Purwanto masing-masing dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara serta membayar denda Rp300 juta dan kerugian negara Rp3 miliar. Adapun Eksi Anggraini dipidana 7 tahun penjara serta membayar denda Rp600 juta dan kerugian negara Rp87,67 miliar. Sementara itu, Budi Said tidak pernah diadili dalam kasus tersebut.
"Mengingat keempatnya sudah diperiksa dan diadili sebelumnya, kami harus hati-hati untuk mengonstruksikan kasus ini agar tidak menjadi nebis in idem," jelasnya.
Tersangka lain
Terpisah, Jogja Corruption Watch (JCW) mendukung langkah Kejagung dalam mengusut kasus ini. Apalagi, meyakini masih ada pihak-pihak lain yang patut diminta pertanggungjawabannya.
"Kasus ini terus berjalan. Artinya, tersangka-tersangka baru pasti akan terus bermunculan, takkan berhenti di sini saja. Paling tidak, nanti diungkap pihak-pihak lain yang terlibat," ujarnya peneliti JCW, Baharuddin Kamba, kepada Alinea.id.
Di sisi lain, ia mempertanyakan kinerja komisaris Antam. Sebab, kerugian dalam kasus tersebut mencapai 1,3 atau sekitar Rp1,1 triliun. "Dewan pengawas (komisaris, red) ini seharusnya melakukan pengawasan. Tidak hanya pelaporan keuangannya, tetapi juga terhadap [kinerja] pimpinan di PT Antam."
Baharuddin melanjutkan, tidak ada yang aneh dengan pengusutan kasus ini sekalipun berawal dari perdata. Ia mengingatkan, banyak perkara pidana yang ditangani penegak hukum bermula dari perdata. "Sangat mungkin," katanya.
JCW pun meyakini bahwasanya Kejagung memiliki bukti yang cukup dalam mengusut kasus tersebut. Apalagi, kepercayaan publik kepada kejaksaan lebih tinggi daripada institusi penegak hukum lainnya, utamanya dalam pengusutan perkara korupsi.
"Dalam berbagai survei, kan, kepuasan publik terhadap penegakan hukum, kan, Kejaksaan Agung yang nomor satu. Artinya, kinerja Kejaksaan Agung pada 2023 mengalami kemajuan," terangnya.
Ada bukti kuat
Hal senada diutarakan praktisi hukum Mohammad Hisyam Rafsanjani. Menurutnya, penyidik Kejagung memiliki pertimbangan hukum dan 2 alat bukti yang sah dalam penetapan Budi Said dkk sebagai tersangka.
"Proses jual-beli [emas antara] Antam dengan BS, penyidik Kejagung pasti mempunyai pertimbangan hukum dan 2 alat bukti yang sah untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka," ulasnya kepada Alinea.id.
Hisyam berpendapat, risiko besar akan menghantui Kejagung jika penanganan kasus hanya demi pencitraan. Sebab, sangat mudah dibantah dan gugur dalam praperadilan selain menimbulkan ekses bagi kejaksaan.
Lebih jauh, ia menyampaikan, proses hukum pidana dapat berjalan secara paralel dengan perdata. "Sepanjang ditemukannya 2 alat bukti yang sah dan terdapat unsur perbuatan pidana dalam proses keperdataan."
Bahkan, ungkap Hisyam, jika ternyata terbukti ada perbuatan pidana, maka dapat menjadi bukti baru (novum). Ini bisa dimanfaatkan untuk membatalkan gugatan perdata semua dalam peninjauan kembali (PK) selama novum a quo belum pernah dihadirkan sebelumnya.