Korupsi timah, JATAM ingatkan serangan balik perusak alam
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengitung kerusakan lingkungan akibat kasus dugaan korupsi pertambangan timah di Bangka Belitung (Babel) pada 2015-2022 sebagai kerugian negara. Penghitungan dilakukan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang Hero Saharjo.
Dalam menghitung kerugian perekonomian negara itu, Bambang mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014. Hasilnya, kasus mengakibatkan kerugian ekologis Rp183,7 triliun, ekonomi lingkungan Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan (reklamasi) Rp12,1 triliun atau totalnya sebesar Rp271,06 triliun.
Nila tersebut didapati dari hasil pemeriksaan di lapangan dan citra satelit, di mana aktivitas pertambangan di kawasan hutan dan nonhutan oleh PT Timah Tbk mencapai 170.363 ha. Padahal, total luasan lahan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) hanya 88.900 ha.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, menyampaikan, kerugian tersebut belum final. Pangkalnya, pihaknya hingga kini masih menghitung kerugian negara.
"Itu tadi hasil penghitungan kerugian ekologis dan kerugian itu masih akan ditambah dengan kerugian negara, yang sampai saat ini masih berproses. Berapa hasilnya, nanti masih kita tunggu," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (20/2).
Menarik, tetapi...
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, langkah tersebut merupakan hal menarik dan belum banyak dilakukan dalam pengusutan kasus korupsi. Namun, Kejagung disarankan berhati-hati menggunakan pendekatan ini lantaran berpeluang menjadi masalah baru bahkan jalan keluar bagi perusak alam dan lingkungan.
Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, mencontohkan dengan pengenaan pemulihan lingkungan berupa reklamasi dalam Pasal 161B ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Isinya, pemegang izin pertambangan yang mangkir dari kewajiban tersebut terancam pidana 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
"Aturan di atas punya keterbatasan hanya menyasar tambang yang berizin atau legal," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (22/2). Kendati begitu, JATAM mendukung pendekatan kerusakan ekologi digunakan dalam menghitung kerugian negara pada kasus korupsi sektor sumber daya alam (SDA).
JATAM pun sependapat dengan langkah Bambang yang menggunakan Permen LH 7/2014. Namun, lagi-lagi regulasi itu sangat terbatas. "Hanya ini yang kita punya secara legal formal."
Menurut Jamil, para pelaku bakal berupaya terbebas dari jerat kerusakan ekologi dengan dalih belum diuangkan atau dicatat sebagai kekayaan negara. Karenanya, aparat penegak hukum menyiapkan argumen tandingan.
"Hal itu mesti dilawan dengan konstruksi hukum yang memperlihatkan bahwa dengan kerusakan yang timbul tersebut, negara harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk memulihkannya. Biaya pemulihan itu tidak hanya terkait lingkungan hidup, tetapi juga lingkungan sosial," tuturnya.
Pemerintah, sambungnya, nantinya akan membuat program dan sejumlah uang untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat tambang ilegal. Dengan demikian, seluruh dana yang bakal dikeluarkan tersebut harus dikonstruksi sebagai kerugian negara.
Ia juga menyarankan kejaksaan menggunakan metode lain, yakni valuasi ekonomi dengan menghitung manfaat sumber daya alam tersebut oleh masyarakat di sana. "Meskipun sebetulnya bagi kami di JATAM, tidak ada satu pun metode yang dapat menguantifikasi nilai ruang hidup-alam dengan sejumlah uang."
Jamil mengingatkan, pelaku usaha pertambangan selama ini untung besar karena ongkos kerusakan lingkungan dan sosial tidak pernah dihitung sebagai ongkos produksi. Akibatnya, biaya eksternalitas tersebut ditanggung rakyat dan pemerintah. "Makanya, mereka selalu untung," jelasnya.
Memburu elite
Di sisi lain, Kejagung diyakini belum menyentuh semua "pemain" dalam kasus ini sekalipun telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka. Pakar hukum pidana Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, berpendapat demikian karena masih ada pihak-pihak bertanggung jawab yang masih bebas.
Kedua, perkara itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan menyeluruh dengan melibatkan banyak demikian. Karenanya, ia mendorong kejaksaan harus fokus dan serius melakukan pengusutan.
"[Yang telah ditetapkan tersangka] masih sangat kurang. [Kejagung] harus menyentuh kepada elite yang diduga turut serta terlibat [dan] ikut membekingi, apakah itu aparat atau pihak dari pemerintah," ulasnya kepada Alinea.id dalam kesempatan terpisah.
Sebanyak 13 orang yang berstatus tersangka adalah General Manager PT Trinindo Inter Nusa (TIN), RL; Dirut PT Timah 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018, Emil Emindra (EE), Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), Suwito Gunawan (SG); dan Direktur PT SIP, MB Gunawan (MBG).
Kemudian, Dirut CV Venus Inti Perkasa (VIP), Hasan Tjhie (HT); pemilik manfaat (benefit official ownership) CV VIP dan PT MCN, Tamron alias Aon (TN); Manager Operasional CV VIP, Achmad Albani (AA); bekas Komisaris CV VIP, BY; Dirut PT SBS, RI; Dirut PT Refined Bangka Tin (RBT) Agustus 2018-kini, Suparta (SP); Direktur Business Development PT RBT, Reza Andriansyah (RA); dan TT (perintangan penyidikan).
Di sisi lain, Yusdianto mendukung rencana Kejagung membentuk satuan tugas khusus (satgassus) untuk mengevaluasi tata kelola timah. Ia berpandangan, pembentukan satgas dapat membuat perkara kian terang.
"[Kasus] ini merugikan negara sangat-sangat fantasitis dan pelaku terlibat di dalamnya banyak. Maka, satgas perlu dibentuk untuk dapat fokus menelusuri dan membuat konstruksi perkara seperti apa. Kalau perlu, sampai [pengenaan] TPPU (tindak pidana pencucian uang) pun juga dimungkinkan untuk dilakukan," bebernya.
"Apalagi, publik mengetahui ada beberapa perusahaan boneka yang dilakukan/dibuat para pihak ini. Maka, ini tentu penyematan [tersangka] kepada pihak yang terlibat tidak bisa dihindarkan. Jadi, jangan selesai hanya pada pihak-pihak yang sekarang [jadi tersangka], tapi juga menyentuh pihak-pihak pengambil kebijakan di dalamnya," imbuh Yusdianto.