Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menganggap pengesahan RUU Pertanahan adalah penghinaan terhadap petani. Alih-alih disebut hadiah yang melengkapi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), RUU Pertanahan justru tidak berpihak pada rakyat kecil. Bahkan, kata dia, pasal-pasalnya malah memuluskan penguasaan tanah atas korporasi.
"Bagi kami pengesahan RUU Pertanahan pada 24 September itu merupakan penghinaan paling besar terhadap petani karena bertepatan dengan hari perayaan UUPA ke-59," tutur Dewi Kartika dalam Konferensi Pers Menuju Hari Tani Nasional di Sekretariat Nasional KPA, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (22/9).
Undang-Undang Pokok Agraria lahir pada 24 September 1960.
Menurutnya, peringatan Hari Tani Nasional dirayakan di tengah situasi yang semakin tidak menguntungkan dengan adanya upaya dari pemerintah dan DPR untuk mengganti UUPA. Terlebih, saat ini Reforma Agraria belum berjalan.
Oleh karena itu, 76 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria akan menggelar aksi bertepatan dengan Peringatan Hari Tani Nasional 2019 (HTN 2019).
"Yang masuk ke Jakarta akan beristirahat di Masjid Istiqlal sebagai titik kumpul. Aksi petani akan di mulai di Patung Kuda menuju Istana Negara untuk menyampaikan pandangan, usulan dan kritikan agenda petani dan pertanian yang belum dipenuhi. Kemudian, berlanjut ke DPR RI," ujar Dewi.
Dewi Kartika lebih lanjut menjelaskan, aksi akan diikutip oleh petani dari Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Terdapat lima masalah pokok yang akan disuarakan. Pertama, macetnya pelaksanaan reforma agraria yang telah dimandatkan Konstitusi, TAP MPR No.IX/2001, UUPA 1960, termasuk evaluasi satu tahun Perpres Reforma Agraria. Kedua, pengabaian penyelesaian konflik agraria struktural di seluruh sektor.
Ketiga, perampasan tanah, penggusuran serta kriminalisasi yang dialami petani. Keempat, RUU Pertanahan yang berwatak liberal, sehingga tidak berpihak kepada petani, bahkan membahayakan petani dan rakyat kecil lainnya, termasuk masalah RUU dan revisi UU lainnya yang antirakyat. Kelima, kebijakan ekonomi, pertanian dan peraturan hukum yang pro-korporasi dan menyengsarakan rakyat.
"Ditengah situasi krisis agraria saat ini pemerintah dan DPR mempertontonkan 'kejar setoran' untuk mengesahkan sejumlah undang-undang (UU) yang antirakyat. Seolah belum genap penderitaan petani dan rakyaf kecil, masih harus ditambah dengan pembahasan RUU Pertanahan, yang justru mengatur cara negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan setiap warga negara," imbuh Dewi Kartika.