Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat 4.369 kasus pelanggaran hak anak terjadi sepanjang 2019 di seluruh Indonesia. Menurut Ketua KPAI Susanto, jumlah tersebut mengalami penurunan ketimbang tahun sebelumnya.
"Jumlah pelanggaran hak anak pada 2019 mengalami penurunan 5,5% bila dibandingkan dengan 2018 yang berjumlah 4.885 kasus," kata Susanto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (18/2).
Menurutnya, dari jumlah tersebut, kasus terbanyak terjadi pada anak yang berhadapan dengan hukum dengan 1.251 kasus. Selain itu, terdapat 896 kasus pelanggaran hak anak dalam keluarga dan pengasuhan alternatif, 653 kasus terkait pornografi dan kejahatan siber, serta 344 kasus berhubungan dengan kesehatan dan narkotika, zat adiktif, dan psikotropika.
Juga terdapat 321 kasus pelanggaran hak anak terkait dengan pendidikan, 291 berhubungan dengan masalah sosial dan anak dalam situasi darurat, 244 kasus perdagangan manusia dan eksploitasi, 193 kasus berhubungan dengan agama dan budaya, 108 kasus pelanggaran hak sipil dan partisipasi, serta 68 kasus lainnya.
Susanto menilai pemerintah sudah menunjukkan komitmen dan keberpihakan tinggi terhadap peningkatan dalam meningkatkan upaya pelindungan anak di Indonesia.
"Hal itu terlihat dari instruksi Presiden kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta kementerian terkait lainnya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelindungan anak," katanya.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga meminta hukuman terhadap pelaku kejahatan terhada anak untuk ditingkatkan. Khusus terhadap kasus eksploitasi seksual dan perdagangan anak, Bintang berharap pelaku tak hanya dijerat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tetapi juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO.
"Dalam kasus eksploitasi seksual dan perdagangan anak, terjadi dua eksploitasi, yaitu eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi," kata Bintang di kantornya, kemarin.
Menurutnya, terdapat 40 anak yang menjadi korban eksploitasi seksual dan perdagangan anak. Bintang pun mengaku prihatin karena anak-anak tersebut mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari para pelaku.
"Kami sudah melakukan beberapa langkah pencegahan, salah satunya dengan mengadvokasi dan menyosialisasikan internet aman dan juga daerah wisata ramah anak bebas eksploitasi. Namun, praktiknya di lapangan masih sulit," ucapnya.
Menurut Bintang, pihaknya juga menggandeng perusahaan teknologi Google untuk memberikan edukasi kepada guru dan orang tua, sehingga bisa mendampingi anak saat mengakses dunia maya.
Menurut Bintang, orang tua dan guru perlu memahami internet dan pengasuhan digital untuk melindungi anak-anak dari ancaman yang mungkin muncul dari dunia maya.
"Mendidik anak di dunia nyata saja susah, apalagi di dunia maya yang luasnya tidak terbatas," ujarnya.