Peristiwa peledakan terduga teroris bersama anaknya di Sibolga, Sumatera Utara, turut menjadi sorotan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Ketua KPAI Susanto mengatakan, doktrin radikalisme kepada anak saat ini sudah memasuki ruang-ruang keluarga. Dengan pola seperti ini, KPAI mengaku kesulitan untuk mendeteksinya.
"Karena orang tua yang seharusnya jadi proteksi bagi anak, justru mereka menjadi mentor untuk mendoktrin perspektif radikalisme. Ini tentu menjadi catatan besar bagi kita," kata Susanto di kantor KPAI di Jakarta, Rabu (13/3).
Menurutnya, fenomena ini harus mendapat perhatian khusus dari lembaga negara terkait. Deteksi dini ajaran radikakisme, dapat dimaksimalkan oleh lembaga-lembaga terkait, seperti Densus 88 Antiteror, maupun BNPT. Selain itu, ia juga berharap lembaga terkait dapat menemukan solusi untuk mendeteksi paparan radikalisme pada anak.
"Saya kira kalau ada pola-pola baru, harus ada metode baru, ada strategi baru, untuk mendeteksi infiltrasi radikalisme yang dilakukan oleh orang tua pada anak. Kalau polanya berubah, maka strateginya juga berubah," ucapnya.
Susanto juga mengatakan, KPAI tidak memiliki kewenangan untuk merehabilitasi anak yang sudah terpapar ajaran radikalisme. Untuk keperluan ini, sudah ada lembaga negara lain yang mempunyai kewenangan tersebut, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dia juga menekankan perlunya keterlibatan masyarakat dalam melakukan upaya deradikalisasi. Susanto mencontohkan apa yang dilakukan oleh mantan teroris Khairul Ghazali, yang mendirikan sebuah pesantren Al Hidayah. Khairul terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan pada 2010, untuk membiayai aksi terorisme.
"Pesantren itu menjadi model rehabilitasi dengan melakukan pendekatan agama. Kalau bisa pesantren model-model seperti itu semakin banyak. Jadi tidak hanya di Sumatra Utara, tetapi saya kira juga penting di daerah lain," ucapnya.
Meski demikian, Susanto mengaku KPAI sudah mengeluarkan rekomendasi guna meminimalisasi ajaran radikalisme terhadap anak, kepada beberapa kementerian, seperti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementrian Agama.
Hal itu dilakukan agar kurikulum pelajaran di lembaga pendidikan, dapat memberikan pemahaman bagi anak-anak untuk dapat menangkal ajaran radikalisme.
"Misalnya, Kemendikbud sudah menyusun program aksi untuk pencegahan radikalisme, maka penting secepat mungkin program itu harus dilaksanakan dengan baik," ucapnya.