close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anak-anak menjadi eksekutor di lapangan dalam aksi terorisme di Surabaya./Antara Foto
icon caption
Anak-anak menjadi eksekutor di lapangan dalam aksi terorisme di Surabaya./Antara Foto
Nasional
Selasa, 15 Mei 2018 15:33

KPAI minta sekolah dan guru berperan cegah radikalisme

Setara Institute menyebut sekolah negeri menjadi lahan membiaknya intolerensi dan fanatisme agama.
swipe

Keterlibatan anak-anak dalam aksi terorisme seperti yang terjadi di Surabaya diungkap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terbilang aktif di lapangan. Bahkan anak-anak telah menjadi bagian dari eksekutor. 

Ketua KPAI Susanto mengatakan, belakangan terorisme yang melibatkan anak-anak tidak hanya saat aksi di lapangan tapi juga dalam perencanaan sebelum melakukan aksi terorisme. Pengaruh dari luar khususnya berasal dari sekelompok mentor organisasi kerohanian juga bisa membuat anak-anak dirasuki paham radikal. 

"Mentor (organisasi kerohanian) seringkali memanfaatkan anak dan remaja. Lalu kemudian melakukan mentoring terhadap teman sebayanya," terang Susanto pada Selasa (15/5).

Anggota KPAI Retno Listyarti menambahkan, seharusnya pelibatan anak dalam aksi terorisme dapat dicegah sejak dini. Sebab riwayat ayah dari pelaku bom di Surabaya bergabung dalam Organisasi Kerohanian Islam (Rohis) yang memilih untuk tidak mau upacara bendera. Sayangnya, kejadian tersebut diabaikan oleh para guru saat itu. 

Atas kejadian tersebut, Retno mengajak agar setiap sekolah dan para guru turut berperan serta dalam upaya pencegahan radikalisme. KPAI juga menyoroti bahwa anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah negeri lebih mudah terpapar radikalisme. 

Mengutip penelitian dari Setara Institute, Retno menyebut bahwa sekolah negeri menjadi lahan membiaknya intoleransi dan fanatisme agama melebihi sekolah swasta dan keagamaan. Selain itu, penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menyebut bahwa potensi radikalisme sebanyak 50% pelajar setuju akan tindakan berbasis radikalisme. 

Dari penelitian LaKIP, 25% siswa dan 21% guru menyatakan bahwa Pancasila tidak lagi relevan diterapkan di Indonesia. Adapun sekitar 52,3% siswa menyetujui kekerasan demi solidaritas agama dan 14,2% membenarkan serangan teror bom.

Di sisi lain, KPAI menghimbau agar masyarakat dan media tidak menyebarkan foto wajah anak-anak yang menjadi korban dan anak dari pelaku teroris. Sebab, anak pelaku juga adalah korban. 
 

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan