Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat merespons beredarnya informasi dugaan pelecehan seksual dan perundungan atau bullying yang terjadi di lingkungan kerja KPI Pusat, Jakarta.
KPI melakukan investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak. Ketua KPI Pusat Agung Suprio mengaku turut prihatin mendengar kasus tersebut dan berjanji tidak menoleransi segala bentuk pelecehan seksual terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun.
"Mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku," ujar Agung dalam keterangan tertulis, Rabu (1/9/2021).
Ia menegaskan, institusinya akan memberikan perlindungan, pendampingan hukum dan pemulihan secara psikologi terhadap korban. "Menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap korban, sesuai hukum yang berlaku," pungkasnya.
Dugaan kasus pelecehan seksual ini mencuat setelah seorang pria berinisial MS mengaku dirundung dan dilecehkan di KPI. Pengakuan MS itu beredar liar via WhatsApp. Korban mengaku sepanjang 2012-2014 atau selama 2 tahun dibully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja seniornya. Bahkan, ia mengaku diintimidasi dan menindasnya hingga berdaya layaknya budak pesuruh.
"Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan," kata MS.
Lebih parah lagi, lanjut MS, pada tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, dan mencorat coret kemaluannya.
"Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu," katanya.
Ia mengaku tak tahan disiksa bertubi-tubi hingga akhirnya mengadu ke Komnas HAM melalui email. "Pada 19 September 2017, Komnas HAM membalas email dan menyimpulkan apa yang saya alami sebagai kejahatan atau tindak pidana. Maka Komnas HAM menyarankan saya agar membuat laporan kepolisian. Karena berobat ke dokter penyakit dalam tak kunjung sembuh, berdasarkan saran keluarga akhirnya saya ke psikiater di RS Sumber Waras," pungkasnya.