close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Markus Nari bergegas usai mengikuti sidang dengan agenda pembacaan vonis yang dilakukan oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/11)./ Antara Foto
icon caption
Terdakwa kasus dugaan korupsi KTP elektronik Markus Nari bergegas usai mengikuti sidang dengan agenda pembacaan vonis yang dilakukan oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/11)./ Antara Foto
Nasional
Selasa, 03 Desember 2019 15:15

KPK ajukan banding atas vonis Markus Nari

Pihak KPK meyakini Markus Nari menerima uang lebih banyak dari yang diyakini hakim.
swipe

Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan banding atas putusan terpidana kasus korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el) Markus Nari. Salah satu fokus dalam banding yang diajukan adalah pidana uang pengganti.

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan pengajuan banding dilakukan agar uang hasil korupsi dapat dikembalikan pada negara secara maksimal, melalui mekanisme uang pengganti.

"Karena dalam putusan pengadilan tipikor tersebut, tuntutan uang pengganti yang dikabulkan baru berjumlah US$400.000. Uang ini merupakan uang yang diduga diterima terdakwa dari Andi Narogong di dekat Stasiun TVRI Senayan," kata Febri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/12).

Padahal, kata dia, terdapat dugaan penerimaan dana lain senilai US$500.000 oleh bekas politikus Partai Golkar itu dari pengadaan KTP-el. Menurut Febri, penerimaan uang ratusan ribu dolar Amerika Serikat oleh Markus dari Andi Narogong, yang diserahkan melalui Irvanto Budi di ruang rapat fraksi Golkar, telah terbukti di pengadilan.

"KPK cukup meyakini, seharusnya terdakwa terbukti menerima US$900.000 atau setara lebih dari Rp12 miliar, sehingga uang tersebut diharapkan nantinya dapat masuk ke kas negara," ucapnya.

Diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta tak sependapat dengan penuntut umum KPK yang menganggap Markus juga menerima uang senilai US$500.000 dari Andi Narogong melalui Irvanto Budi, yang diserahkan bersama Melchias Marcus Mekeng. Sikap hakim yang mengabaikan hal ini, diduga lantaran penuntut umum KPK tak dapat menghadirkan Mekeng untuk bersaksi di persidangan.

Dengan demikian, Markus divonis untuk membayar pidana berupa uang pengganti sebesar US$400.000. Uang tersebut, merupakan total penerimaan Markus dari kasus korupsi KTP-el. Selain itu, dia juga divonis 6 tahun kurungan penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan.

Bekas politikus Partai Golkar itu juga dijatuhi hukuman berupa pencabutan hak politik selama lima tahun, terhitung sejak dia selesai menjalani masa hukuman penjara.

Putusan itu lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yang meminta agar Markus divonis 9 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan. Ia juga disanksi kewajiban membayar uang pengganti sebesar US$900.000.

Markus dianggap telah melakukan praktik rasuah secara bersama-sama terkait kartu KTP-el. Selain itu, Markus juga dianggap telah melakukan perbuatan pidana berupa merintangi secara tidak langsung pemeriksaan dalam sidang pengadilan perkara korupsi.

Atas perbuatannya, Markus dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain itu, Markus juga dinyatakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan