Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mempertimbangkan dan menganalisa permohonan justice collaborator (JC) mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Analisa dilakukan dengan menyesuaikan sejumlah fakta di persidangan.
"Tentu jika dikabulkan akan menjadi faktor yang meringankan hukuman yang dijatuhkan. Ini jika ia dinyatakan bersalah menurut hukum," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, dalam keterangannya, Rabu (22/7).
Hanya saja, Fikri menilai, keterbukaan pelaku untuk membongkar praktik tindak pidana korupsi, seharusnya dilakukan sejak awal proses penanganan perkara. "Bukan menyatakan sebaliknya, misalnya jika diberikan JC baru akan membuka semuanya," papar Fikri.
Jika KPK tidak mengabulkan permohonan JC, Wahyu Setiawan masih dapat menjadi whistleblower. Status whistleblower dapat disandang Wahyu dengan memberikan keterangan sesuai data dan alat bukti yang jelas.
"Dipastikan KPK akan melakukan verifikasi dan menindaklanjutinya apabila memang kasus tersebut menjadi kewenangan KPK sebagaimana ketentuan Pasal 11 UU KPK," terang Fikri.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan, melayangkan permohonan JC kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada persidangan awal pekan ini.
Kuasa Hukum Wahyu Setiawan, Toni Akbar Hasibuan mengatakan, terdapat dua kasus dugaan korupsi yang akan diungkap kliennya dalam nota JC tersebut.
"Iya benar. Kemarin Senin (20/7) dipersidangan, mengajukan JC terkait dengan perkara yang ada yaitu, tentang PAW Harun Masiku dan suap terkait seleksi anggota KPU Papua Barat sesuai dakwaan," ujar Toni, kepada Alinea.id, Rabu (22/7).
Dalam perkaranya, Wahyu didakwa menerima uang sebesar 19.000 Dolar Singapura dan 38.350 Dolar Singapura atau setara Rp600 juta dari eks Caleg PDIP Harun Masiku melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina.
Uang itu diterima Wahyu untuk memuluskan langkah Kader PDIP Harun Masiku, guna melengserkan Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan 1 melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
Atas perbuatannya, Wahyu diduga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Wahyu juga didakwa telah menerima hadiah atau janji berupa uang senilai Rp500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo.
Uang itu diberikan Thamrin kepada Wahyu untuk memuluskan langkahnya dalam mengikuti rangkaian tahapan proses seleksi calon anggota KPU Daerah Provinsi Papua Barat periode 2020-2025.
Wahyu dinilai melanggar Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.