close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kompleks industri nikel PT Sulawesi Mining Investment di Kabupaten Morowali, Sulteng, September 2017. Google Maps/Hadimiser Parantean
icon caption
Kompleks industri nikel PT Sulawesi Mining Investment di Kabupaten Morowali, Sulteng, September 2017. Google Maps/Hadimiser Parantean
Nasional
Jumat, 06 November 2020 15:07

KPK-Auriga Nusantara bedah masalah politik dan SDA Sulawesi Tengah

Upaya ini untuk menjaring rekomendasi perbaikan agar pengelolaan mengedepankan kepentingan masyarakat lokal.
swipe

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Yayasan Auriga Nusantara membedah permasalahan politik dan tata ruang pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Sulawesi Tengah (Sulteng) melalui diskusi virtual, Kamis (5/11). Mereka ingin menjaring rekomendasi perbaikan agar pengelolaan SDA mengedepankan kepentingan masyarakat lokal.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko, mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya dalam pengelolaan SDA sejak 2012. Salah satunya dengan menggerakkan 27 kementerian/lembaga dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.

"Beberapa kajian tentang sumber daya alam juga telah diselesaikan KPK sejak 2010. Sesuai dengan tugas, kami telah mengirimkan rekomendasi ke lembaga terkait," ujarnya secara tertulis, Jumat (6/11).

Pada diskusi tersebut, dosen Ilmu politik Universitas Tadalako, La Husen Zuada, menyebut, pihaknya menemukan pelanggaran yang melawan undang-undang. Oleh karena itu, menimbulkan praktik ekonomi tersembunyi dalam pengelolaan SDA di Sulteng.

"Akar persoalannya ada tiga, yakni lemahnya regulasi, persoalan integritas penyelenggara negara, dan kebutuhan ekonomi atau lapangan pekerjaan," ucapnya.

Lebih lanjut, La Husen mengatakan, telah terjadi pergeseran sumber produk domestik bruto regional (PDBR) Sulteng dari pertanian menjadi pertambangan. Adanya revisi yang belum selesai sejak 2019 tentang Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2013 mengenai tata ruang wilayah, imbuhnya, berpengaruh terhadap implementasi pemanfaatan SDA.

Pada kesempatan sama, Koordinator Eksekutif Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Dahniar Andriani, menyebut, tata ruang juga terkait dengan potensi SDA. Berdasarkan outlook pihaknya, hampir tiap titik di Indonesia tak lepas dari konflik SDA, khususnya di Sulteng tercatat ada 16 konflik dengan luasan 67.586,63 hektare (ha).

"Sebagian besar kasusnya terjadi di kawasan hutan. Resettlement (pemukiman kembali) dianggap sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan bagi masyarakat yang tinggi atau menggantungkan hidupnya dengan kawasan hutan," jelasnya.

Sementara kandidat doktor dari York University, Arianto Sangaji, mengatakan, tata kelola SDA tak lepas dari akumulasi global industri berbasis SDA. Ia menyebut ada tiga kasus di Sulteng terkait dengan investasi raksasa yang berkaitan dengan sumber alam.

"Secara ekonomi, harus diakui karena ini adalah perusahaan asing yang melakukan investasi di situ, maka dari segi keuntungan tentu saja banyak dilarikan ke luar negeri," katanya.

Di sisi lain, menurutnya ada tiga masalah dalam pengelolaan SDA di Sulteng. Pertama, pemanfaatan berorientasi pada akumulasi global. Kedua, petani dan buruh menerima beban sosial dan lingkungan. Ketiga, terkait lingkungan hidup, industri pemrosesan nikel di Morowali berbasis energi batu bara menjadikan lingkungan sangat kotor.

"Dari kapasitasnya, ada 1.130 MW PLTU di situ dan menimbulkan pencemaran udara luar biasa kepada masyarakat sekitar," ujarnya.

Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng dan pusat, nilai ekspor besi dan baja di daerah tersebut naik dari US$185 juta pada 2015 menjadi US$4,4 miliar hingga September 2020. Projek Dongi Silora LNG, jelas Arianto, termasuk proyek raksasa yang melibatkan perusahaan transnasional.

Sedangkan pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, Sudirman Dg. Massiri, merekomendasikan sumber daya hutan perlu dianggap sebagai aset sehingga dibutuhkan penilaian SDA yang benar dan prinsip kehati-hatian agar aset awal tidak hilang. Menurutnya, harus memahami karakteristik tiga komponen dalam merumuskan kebijakan kehutanan.

"Dalam pemerintahan, kebijakan harus merujuk pada hukum tata negara. Di masyarakat, perumusan kebijakan kehutanan tidak bisa mengabaikan aturan sosial di masyarakat. Hal lain yang penting adalah tidak mengabaikan karakteristik sumber daya hutan itu sendiri, yakni hukum alam seperti bentang alam, karakteristik biodiversitasnya," jelasnya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan