Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan untuk mengajukan persidangan Harun Masiku melalui mekanisme pengadilan in absentia. Hal ini lantaran tersangka kasus suap penetepan anggota DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW itu, masih buron dan belum diketahui keberadaannya.
Dalam istilah hukum, persidangan in absentia merupakan proses mengadili seseorang tanpa dihadiri oleh terdakwa yang berperkara.
"Kalau pun seandainya tak tertangkap sampai hari kami melimpahkan ke pengadilan, tak menutup kemungkinan tetap kami lanjutkan dengan proses persidangan in absentia," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (5/3).
Ghufron mengaku tak ragu pihaknya dapat membuktikan perbuatan rasuah Harun, meski eks caleg PDIP itu tak hadir di persidangan. Menurutnya, majelis hakim dapat mempertimbangkan sejumlah fakta dari keterangan saksi dan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan tersebut.
"Apakah pembuktiannya cukup? kami sudah merasa cukup, walaupun sebetulnya keterangan terdakwa tetap dibutuhkan. Tetapi, dengan keberadaan alat bukti yang lain dan saksi lain, kami merasa optimis untuk tetap bisa dilimpahkan perkara itu walau tak ada Harun Masiku," ujar Ghufron.
Dia menilai, proses peradilan dengan menggunakan mekanisme in absentia dapat dilakukan meski jika tak ada terdakwa yang dihadirkan dalam persidangan.
"Prinsipnya gini, bahwa persidangan itu harus berikan kesempatan bagi tersangka untuk bela diri. tetapi kesempatan membela diri itu kalau kemudian tak diambil oleh tersangka atau terdakwa, itu adalah hak dia," pungkas Ghufron.
Harun merupakan tersangka dalam perkara dugaan suap penetapan anggota DPR RI melalui mekanisme PAW. Dia diduga kuat telah menyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan agar ditetapkan sebagai anggota DPR RI menggantikan Nazarudin Kiemas, yang meninggal sebelum dilantik sebagai legislator.
Harun telah memberikan Rp600 juta dari total Rp900 juta yang akan dia berikan untuk kebutuhan tersebut. Nilai tersebut diminta Wahyu sebagai dana operasional untuk mewujudkan keinginan Harun.
KPK telah mengendus salah satu transaksi penyuapan dilakukan melalui transfer dari sebuah bank di Papua Barat. Uang yang dikirim mencapai Rp600 juta, dalam pecahan dolar Singapura.
Uang tersebut merupakan salah satu barang bukti yang diamankan saat KPK melakukan operasi tangkap tangan pada delapan Januari 2020. Namun, penyidik masih mendalami asal-usul sumber uang tersebut.
Sejak ditetapkan sebaga tersangka pada Kamis 9 Januari 2020, KPK belum berhasil menangkap Harun. Lembaga antirasuah pun memasukkan nama Harun ke dalam daftar buron pada 17 Januari 2020.
Sebagai pihak penerima, Wahyu disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Harun selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b, atau Pasal 13 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.