Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerukan hak calon anggota legislatif (Caleg) koruptor harus dibatasi.
Baru-baru ini publik Indonesia dibuat bingung oleh keputusan Mahkamah Agung (MA) ketika membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sehingga, dengan adanya keputusan MA tersebut, koruptor bisa tetap punya hak untuk jadi calon legistlatif.
Menanggapi keputusan MA ini, KPK pun ikut bersuara. KPK tetap akan menyerukan pembatasan hak narapidana korupsi dalam pencalonan anggota legislatif. Sebab, upaya ini merupakan bagian dari tindakan preventif untuk pencegahan kasus korupsi.
“Terkait dengan sejumlah diskursus publik akhir-akhir ini tentang bagaimana mewujudkan demokrasi, khususnya parlemen yang bersih ke depan dan mencegah praktik-praktik korupsi massal di DPR atau DPRD terjadi kembali, menurut KPK pembatasan hak narapidana korupsi untuk mencalonkan perlu dilakukan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (18/9).
Seruan KPK ini dibuktikan dengan tuntutannya tentang pencabutan hak politik politisi yang pernah tersangkut korupsi. KPK memandang langkah ini sebagai usaha untuk terus menjaga kepercayaan publik terhadap para Anggota DPR/DPRD.
Sebelumnya, KPK juga sudah pernah memproses 26 politisi yang memiliki catatan buruk dalam perkara tindak pidana korupsi.
“Sejauh ini Pengadilan Tipikor telah memutus hukuman tambahan pencabutan hak politik dengan durasi waktu berbeda-beda sesuai aturan di KUHP terhadap 26 orang yang pernah diproses KPK sejak tahun 2013-2017. Untuk perkara tahun 2018, masih dalam proses persidangan. 26 orang tersebut ada yang menjabat sebagai ketua umum dan pengurus Parpol, Anggota DPR dan DPRD, kepala daerah serta jabatan lain yang memiliki risiko publik besar jika menjadi pemimpin politik,” ungkap Febri.
KPK berharap agar semua pihak dan para penegak hukum bisa saling bekerja sama dan fokus dalam mengawasi hukuman pencabutan hak politik napi korupsi ini.
“Kami berharap hukuman pencabutan hak politik ini dapat menjadi concern bersama penegak hukum, baik dalam mengajukan tuntutan di pengadilan ataupun putusan. Jika memungkinkan dijadikan standar dan pembahasan di Mahkamah Agung agar menjadi pedoman bagi seluruh pengadilan Tipikor, tentu saja hal tersebut akan berkontribusi mewujudkan politik yang lebih bersih dan berintegritas ke depan,” urainya.