close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Ist
icon caption
Foto: Ist
Nasional
Sabtu, 29 Juli 2023 20:13

KPK didesak tuntaskan kasus korupsi di Basarnas melalui peradilan umum

Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini.
swipe

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menetapkan lima orang tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait praktik korupsi tender salah satu proyek di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Penetapan itu dilakukan setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa 25 Juli 2023.

Dua dari lima tersangka berlatar belakang militer aktif. Mereka adalah Kepala Basarnas RI, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto. Namun, Jumat 28 Juli, Komisi Anti Rasuah itu justru minta maaf dan meralat penetapan tersangka keduanya.

KPK menyerahkan proses hukum terhadap keduanya kepada Puspom TNI dengan alasan yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer. Sikap KPK ini dinilai janggal.
 
"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," tegas Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, dalam keterangannya, Sabtu (29/7). 

Disebutkan bahwa sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (Korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.

"KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf." 

"Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," tandas pernyataan itu.

Koalisi memaparkan bahwa sistem peradilan militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan dan seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.

"Padahal dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Koalisi menilai penetapan tersangka terhadap KaBasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini dianggap langkah yang benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. 

"Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap. Mereka yang sudah menjadi tersangka  tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer." 

"Skandal korupsi yang terjadi di tubuh Basarnas yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif ini menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dan transparansi di lembaga-lembaga yang terkait dengan militer. Kasus ini harus dijadikan momentum untuk mengevaluasi proses pengadaan barang atau jasa lainnya dalam institusi militer, baik secara internal yaitu di TNI maupun lembaga eksternal lainnya, agar transparan dan akuntabel sehingga tidak menimbulkan keruguian keuangan negara," terangnya.

"Kami juga menilai bahwa Korupsi di tubuh TNI juga diakibatkan oleh kegagalan MENHAN dalam menjalankan Fungsi Pengawasan terhadap TNI yang jelas berada dibawahnya berdasarkan UU TNI yang dikuatkan Putusan MK No.9/PUU-IX/2011, selain MENHAN kegagalan pengawasan TNI juga patutu dialamatkan kepada MENKOPOLHUKAM yang gagal menjalankan fungsi terhadap unsur organisasi yang berada dibawah Lingkungan KEMENKOPOLHUKAM," papar Koalisi dalam keterangannya. 

Koalisi pun mendesak KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut. 

"Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI. KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas."

"Pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya."

"Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut. Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana," tutupnya. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP.

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan