Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diragukan bakal mengusut tuntas kasus suap yang melibatkan penyidiknya, Stefanus Robin Pattuju. Pasalnya, KPK belum lama ini mengeluarkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) yang dikeluarakan dalam kasus Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Ini yang paling saya ragukan, ini paling saya khawatirkan mengenai penyidik KPK. Ternyata menerima sesuatu di rumah pejabat negara. Wakil Ketua DPR. Ada yang menduga difasilitasi dan sebagainya, dan ini belum tuntas. Kalau belum tuntas, bagaimana zero tolerance-nya. Ini bisa bahaya KPK ke depan. Kita tidak bisa berharap," kata Marwan dalam konferensi pers daring Koalisi Guru Besar dari 64 guru besar seluruh Indonesia, Minggu (2/5).
Diketahui Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin ikut terseret dalam kasus dugaan suap Stefanus Robin tersebut. Politisi Partai Golkar itu diduga memperkenalkan tersangka suap Wali Kota Tanjungbalai Syahrial ke Stefanus Robin.
Dalam kasus ini, Robin dijerat KPK setelah diduga menerima Rp 1,3 miliar dari Rp 1,5 miliar yang dijanjikan M Syahrial selaku Wali Kota Tanjungbalai. Pemberian uang itu dimaksudkan agar AKP Robin mengurus perkara dugaan korupsi di KPK yang menjerat Syahrial.
"Kekhawatiran saya adalah mengenai pemberian kewenangan KPK untuk melakukan SP3. Oh ini bisa bahaya, Pak. Ini sudah satu, sudah di SP3 KPK, kasus yang sangat besar (BLBI)," sambung dia.
Marwan mengatakan, kekhawatiran memiliki alasan kuat terhadap penyidik KPK, terutama dari kalangan kepolisian. Berdasarkan riset mahasiswa hukum strata satu dan pascasarjana yang dibimbingnya, banyak kasus Polri dihentikan lantaran menerima suap.
Marwan menyebut jangan sampai praktik serupa menjalar ke KPK melalui penyidik yang tak berintegritas seperti Stefanus Robin Pattuju. "Penelitian mereka menemukan, kenapa banyak SP3 yang dikeluarkan di penyidik kepolisian, antara lain itu, ada bicara fee di sana. Saya khawatir akan menjalar ke KPK, sudah bubarlah KPK kalau begitu," ungkap dia.
Menurut Marwan, pangkal dari semua ini tak lain disebabkan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata Marwan, revisi UU KPK tidak membuat KPK bertaring untuk menegakan pemberantasan korupsi di Tanah Air.
"Kalau ini dibungkam oleh UU KPK yang baru, itu KPK tidak akan pernah bangkit seperti KPK jilid 1-4. Dan KPK jilid 5 ini, kalaupun dia melakukan OTT (operasi tangkap tangan), tidak seperti kualitas OTT yang dilakukan KPK jilid 1-4," pungkas dia.