close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Petugas mendampingi warga yang melakukan registrasi Program Kartu Prakerja di LTSA UPT P2TK di Kota Surabaya, Jatim, Senin (13/4/2020). Foto Antara/Moch Asim
icon caption
Petugas mendampingi warga yang melakukan registrasi Program Kartu Prakerja di LTSA UPT P2TK di Kota Surabaya, Jatim, Senin (13/4/2020). Foto Antara/Moch Asim
Nasional
Jumat, 19 Juni 2020 18:27

KPK diminta selidiki Program Kartu Prakerja

BW menduga terjadi praktik lancung dalam program itu.
swipe

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, meminta lembaga antirasuah membuka penyelidikan atas kajiannya tentang Program Kartu Prakerja. Perlu tindakan lebih dari sekadar itu.

"Setop dengan kajian, masuk di penyelidikan. Tugas Litbang (Penelitian dan Pengembangan) sudah selesai di situ. Tugas penyelidikan mulai masuk," ujarnya dalam diskusi "Sengkarut Persidangan Penyerang Novel" di akun Facebook ICW, Jumat (19/6).

Menurutnya, lembaga penegak hukum, seperti KPK, harus menelisik dugaan tindak pidana korupsi dalam program tersebut. Apalagi, kajian menjadi tugas para peneliti, bukan instansi hukum.

"Kalau hanya memetakan masalah dan memetakan temuan, itu sebenarnya kerjaan peneliti. Tetapi kalau pekerjaannya advokat atau penegak hukum, dia akan menemukan apakah tindakan itu dilakukan secara sengaja atau kelalaiannya. Jadi, dengan begitu mens rea-nya jelas," urainya.

BW, sapaannya, menduga, terjadi praktik lancung dari Program Kartu Prakerja. Pangkalnya, munculnya permasalahan setidak-tidaknya karena kelalaian. "Lalai itu sudah menjadi bagian dari pelanggaran," jelasnya.

KPK mendapati empat aspek masalah Program Kartu Prakerja usai melakukan kajian. Petama, mekanisme atau proses pendaftaran. Hanya 143.000 peserta yang tepat sasaran, padahal 1,7 juta pekerja terdampak sebagaimana data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek).

Penggunaan fitur pengenalan wajah (face recognition) juga dinilai tidak efektif. Padahal, anggaran yang digelontorkan sebesar Rp30,8 miliar.

Kedua, potensi konflik kepentingan (conflict of interest) atas kemitraan dengan lima dari delapan platform digital. Mekanismenya tanpa pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga tidak ada legal opinion dari Kejaksaan Agung (Kejagung).

Pun sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan milik lembaga penyedia pelatihan yang mempunyai konflik kepentingan dengan platform digital.

Ketiga, kurasi materi pelatihan tak dilakukan dengan kompetensi memadai. Hanya hanya 13% dari 1.895 pelatihan yang memenuhi syarat.

KPK juga mengidentifikasi sebesar 89% jenis pelatihan telah tersedia di berbagai media dengan cuma-cuma. Ini atas temuan 327 dari 1.895 jenis pelatihan yang kaji.

Terakhir, metode pelaksanaan program pelatihan secara daring. Dianggap tidak efektif, rawan fiktif, dan dapat merugikan keuangan negara karena pelatihannya hanya satu arah. Pun tidak ada kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan