Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera disahkan. Sebab, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk pengesahannya menyusul tingginya sorotan publik terhadap fenomena para pejabat yang pamer harta kekayaan (flexing) di media sosial.
"Saya kira ini momen yang tepat [untuk mengesahkan] ketika ada beberapa laporan masyarakat, atensi masyarakat terkait dengan gaya hidup penyelenggara negara," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, kepada wartawan, Jumat (31/3).
Disampaikan Ali, KPK telah hampir 12 tahun mendorong RUU Perampasan Aset disahkan karena mendukung kerja-kerja penegakan hukum yang dilakukan. Dicontohkannya dengan pengusutan kasus dugaan gratifikasi yang menjerat mantan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo.
"Saya kira ini waktu yang tepat untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset sebagai support untuk penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sedang kami lakukan," ujar Ali.
Ali bilang, setiap perkara korupsi pada gilirannya akan berujung pada perampasan aset. Kendati demikian, upaya perampasan aset selama ini baru bisa dilakukan atas putusan pengadilan.
Oleh karenanya, Ali berpendapat, pengesahan beleid tersebut dapat memaksimalkan perampasan aset lantaran pengambilan barang korupsi bisa dilakukan di luar mekanisme peradilan.
"Dari RUU ini, kan, sangat menarik sekali di sana. Bagaimana kemudian kemudahan-kemudahan di dalam upaya dalam perampasan aset dari hasil tindak pidana korupsi bisa dilakukan, baik lewat peradilan ataupun di luarnya," tutur dia.
Sebelumnya, Menko Polhukam, Mahfud MD, meminta DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga penting untuk disahkan karena turut menopang upaya-upaya pencegahan korupsi.
"Undang-Undang Perampasan Aset tolong didukung, Pak, biar kami bisa ambil begini-begini ini, Pak. Tolong juga [RUU] Pembatasan Belanja Uang Kartal didukung, Pak," pinta Mahfud dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR tentang transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kemenkeu, Rabu (29/3).