Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) lantaran mempersulit mantan terpidana kasus korupsi untuk maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebab, langkah itu dinilai selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera.
"KPK mengapresiasi putusan MA dan ICW (Indonesia Corruption Watch) sebagai pemohon atas judicial review terkait masa jeda mantan narapidana korupsi untuk ikut dalam kontestasi di pilkada," kata juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya, Sabtu (30/9).
Diketahui, MA mengabulkan seluruh permohonan eks Komisioner KPK, KPK Abraham Samad dan Saut Situmorang, bersama ICW, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Transparency International Indonesia (TII) atas uji materi Pasal 11 ayat (6) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023. Dalam aturan itu, bekas koruptor berpeluang maju lebih cepat menjadi calon legislatif (caleg).
MA pun memerintahkan KPU mencabut dua PKPU tersebut. Pertimbangannya, Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang (UU) 7/2017 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XX/2022.
Kemudian, Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Pasal 182 huruf g UU 7/2017 jo. Putusan MK Nomor 12/PUU-XXI/2023. Selain itu, seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan sebagai implikasi pelaksanaan Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 tak memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.
MA juga memerintahkan panitera mengirimkan petikan putusan ini kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam berita negara. Selanjutnya, menghukum Ketua KPU selaku termohon membayar biaya perkara Rp1 juta.
Ali mengungkapkan, KPK kerap mengenakan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik kepada terdakwa jika terbukti bersalah melakukan korupsi. Tujuannya, membatasi partisipasi yang bersangkutan dalam proses politik.
Menurutnya, pencabutan hak politik memperlihatkan bahwa dalam koruptor menyalahgunakan kepercayaan publik. Dengan begitu, perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik mantan narapidana korupsi pada masa mendatang.
"Namun demikian, penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik tetap harus dilakukan dengan berdasar pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM)," tutur Ali.