Pilkada Serentak 2020 harus melahirkan kepala daerah pro rakyat dan bebas tindak pidana korupsi. Hal itu, disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron.
"Pilkada adalah proses demokrasi untuk memilih pemimpin daerah dengan harga mahal. Ini baru biaya dari APBN Rp15,23 triliun. Jika, tidak menemukan pejabat pro rakyat, tetapi menemukan penjahat. Eman (Rugi)," ujar Ghufron dalam konferensi pers virtual, Kamis (12/11).
Menurut dia, KPK hadir bukan untuk mengganggu kontestasi politik ini, tetapi untuk pencegahan agar kepala daerah yang terpilih bukan produk gagal.
Karena itu, dia meminta, calon kepala daerah bukan berlomba-lomba menjadi penguasa, melainkan pelayan rakyat. Jadi, aspirasi tidak berakhir pada jual beli kekuasaan.
Praktik jual beli kekuasaan hanya melahirkan penguasa lalai dalam melaksanakan tujuan bernegara. Maka, akan menciptakan kepala daerah yang gemar korupsi, dari sektor sumber daya alam (SDA), hingga sumber daya manusia (SDM).
"Kalau sudah begini, kita bernegara hancur, berpilkada inginnya mendapatkan pimpinan-pimpinan yang bagus, tetapi yang terlahir adalah pembeli-pembeli kuasa rakyat. Yang ketika duduk memperdagangkan kuasanya," tutur Ghufron.
Dia berharap, calon kepala daerah terpilih dalam Pilkada 2020 tidak berurusan dengan KPK nantinya. "Jangan sampai produk Pilkada 2020 menambah angkat data penindakan KPK," ucapnya.
Berdasar, data penindakan KPK dari tahun 2004 hingga Mei 2020, tindak pidana korupsi suap merupakan paling banyak ditemukan atau 704 perkara. Lalu, pengadaan barang dan jasa 224 perkara, perizinan 23 perkara, pungutan liar 26 perkara, penyelenggaraan anggaran 48 perkara, tindak pidana pencucian uang (TPPU) 36 perkara, dan merintangi proses penyidikan 10 perkara.
Dari segi jenis profesi, subjek hukum swasta paling banyak melakukan korupsi atau 380 perkara. Disusul kemudian anggota DPR/DPRD 274 perkara, pejabat pemerintah (eselon I,II,III,IV) 230 perkara, wali kota/bupati/wakil 122 perkara, kepala lembaga/kementerian 28 perkara, hakim 22 perkara, gubernur 21 perkara, pengacara 12 perkara, jaksa 10 perkara, komisioner 7 perkara, korporasi 6 perkara, duta besar 4 perkara, dan polisi 2 perkara. "Artinya, dalam pemetaan tindak pidana korupsi tidak ada clean, hampir di seluruh Indonesia," tutur Ghufron.