Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa dana Nilai Manfaat adalah hak semua warga yang sudah membayarkan setoran jemaah.
“Jangan lupa Nilai Manfaat bukan punya yang mau berangkat saja, yang nunggu yang lebih banyak. Jadi kalau dihabisin sekarang, nanti yang nunggu repot,” ujar Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, dikutip Sabtu (28/1) dari website kemenag.go.id.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terdiri dari dua komponen. Pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih yang ditanggung oleh jemaah haji. Kedua, Nilai Manfaat yang bersumber dari hasil optimalisasi yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) terhadap dana Setoran Jemaah.
Dalam Undang-Undang No 8 tahun 2019, dijelaskan Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan atau investasi. Adapun setoran jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh jemaah haji melalui Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih.
Karena milik semua jemaah, dibutuhkan upaya untuk menjaga keberlanjutan Nilai Manfaat agar tidak tergerus dan habis. Sebagai gambaran, Pahala Nainggolan menuturkan komposisi BPIH 2022. Menurutnya, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 5 tahun 2022, rata-rata BPIH 2022 sebesar Rp81,7 juta. Dari jumlah itu, rata-rata Bipih yang dibayarkan jemaah Rp39,8 juta (48%), sisanya diambil dari dana Nilai Manfaat (52%).
Dua bulan kemudian, Pemerintah Arab Saudi menaikkan biaya layanan Masyair. Sehingga, ada kenaikan BPIH dengan rata-rata totalnya menjadi Rp98,3juta. Sebagai respons atas kenaikan biaya di Saudi saat itu, terbit Kepres No 8 tahun 2022. Meski demikian, jemaah tetap membayar Bipih rata-rata Rp39,8 juta.
“Waktu itu, diputuskan jemaah tidak menambah apapun sehingga Nilai Manfaat yang diambil dari BPKH tadinya hanya Rp4,2 triliun, karena ada kenaikan di sana menjadi Rp5,4 triliun. Hal ini ditetapkan dengan Kepres sebagai reaksi atas situasi saat itu. Akibatnya jemaah hanya menanggung 40% dari BPIH. Sementara Nilai Manfaat dan dana efisiensi menanggung 59% atau hampir 60%,” urainya.
Menurutnya, jika diteruskan, dana Nilai Manfaat BPKH akan habis.
"Sekarang hanya Rp15 triliun kurang lebih Nilai Manfaat yang ada di BPKH. Kalau terus 60% “disubsidi” jemaah, maka akan habis itu,” sambungnya.
KPK, kata Nainggolan, sudah meminta BPKH melakukan kajian sustainabilitas (keberlanjutan) dana haji sejak tahun 2020. Kajian itu juga sudah dilakukan dan sudah terlihat skemanya. Apalagi tahun 2027 akan ada dua kali pemberangkatan jemaah haji. Itu berarti akan semakin banyak lagi dana akumulasi Nilai Manfaat yang harus disiapkan.
Sejalan dengan itu, KPK mendukung usulan adanya perubahan skema biaya haji demi keberlanjutan Nilai Manfaat. Sebab, Nilai Manfaat bukan hanya kepunyaan jemaah yang mau berangkat, tapi juga jemaah yang sedang menunggu dan itu jumlahnya lebih banyak.
“Oleh karena itu, KPK mendukung dengan syarat efisiensi di dalam negeri, efisiensi di luar negeri, dan optimalisasi pengelolaan dana haji. Pada saat yang sama, masyarakat kita dorong transparansi komposisi biaya. Sebab, dengan komposisi 40% (Bipih) berbanding 60% (Nilai Manfaat) seperti tahun 2022, kami pastikan bersama BPKH, kami hitung simulasinya, tidak akan berlangsung lama,” tuturnya.