Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi terdakwa kasus suap proyek PLTU Riau-1, Idrus Marham. MA dianggap memangkas drastis hukuman bekas Menteri Sosial itu.
"Kalau dilihat dan dibandingkan, putusan pemangkasan 3 tahun (penjara) dengan putusan di tingkat banding, apalagi dengan tuntutan KPK, tentu wajar bila kami cukup kecewa dengan turunnya secara signifikan putusan di tingkat kasasi ini," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (3/12).
Febri mengaku,pihaknya belum menerima salinan putusan MA terhadap kasasi Idrus Marham. Namun demikian, ia menyampaikan, pihaknya tetap menghormati putusan MA tersebut.
"Kalau sudah kasasi, sudah berkekuatan hukum tetap, nanti kami pelajari terlebih dahulu tentu saja putusannya. yang pasti kami menghormati dan akan melaksanakan begitu kami terima putusannya," ucap dia.
Lebih lanjut, Febri berharap, MA mempunyai kesamaan visi dengan KPK dalam memaksimalkan efek jera terhadap pelaku korupsi. Dia menganggap pemberian efek jera itu dapat terwujud jika mendapat hukuman sebanding dengan perbuatannya.
"Ini harapannya bisa menjadi kontemplasi ke depan agar kerja yang dilakukan penyidik, penuntut umum, hakim di tingkat pertama, di tingkat kedua sampai di tingkat kasasi itu berada dalam visi yang sama soal pemberantasan korupsi," ujar Febri.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan kasasi Idrus Marham dengan menjatuhkan pidana kepada politikus Partai Golkar itu dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan. Hukuman itu jauh lebih rendah dibanding putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis 5 tahun pidana penjara serta denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi berpendapat bahwa Idrus lebih tepat diterapkan dengan Pasal 11 Undang-Undang Tipikor. Sebab, Idrus dianggap telah menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum Golkar untuk mengetahui perkembangan proyek tersebut melalui bekas Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih.
Tindakan itu ditujukan agar Eni Saragih tetap mendapat perhatian dari Johanes Budisutrisno Kotjo. Tujuannya, Eni dapat menyampaikan kepada Idrus bahwa dirinya mendapatkan fee dalam mengawal proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1.