Gubernur Papua nonaktif, Lukas Enembe, melalui pengacaranya mengeluhkan fasilitas tempat tidur tahanan di Rutan KPK. Diketahui, Lukas merupakan tersangka dalam perkara dugaan suap dan gratifikasi proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.
Menanggapi hal tersebut, KPK memastikan fasilitas bagi para tahanan di rutan KPK dikelola sesuai standar yang berlaku. Standar ini merujuk pada Peraturan Menkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
"Di KPK itu memiliki standar yang sudah baku, bagaimana kemudian fasilitas itu harus ada sesuai dengan ketentuan. Jadi tidak bisa kemudian di rutan KPK harus menyediakan kasur yang semaunya dari tersangka (Lukas)," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, ditulis Jumat (3/2).
Ali mengatakan, KPK tidak dapat memenuhi keinginan tersangka yang ditahan dengan fasilitas nyaman. Sebab, terdapat ketentuan dan standar yang harus dipenuhi sebuah rutan sebagaimana ketentuan Kementerian Hukum dan HAM.
Kendati demikian, Ali menegaskan, seluruh tahanan KPK memperoleh hak yang sama di dalam rutan. Pemenuhan hak tersangka ini juga mencakup hak atas kesehatan, termasuk untuk Lukas Enembe.
"KPK tidak membedakan terkait dengan kesehatan dari para tersangka, perlakuan terhadap para tersangka dan tahanan KPK di dalam rutan. Mengenai kesehatan kami perhatikan betul, tim dokter rutan KPK juga selalu memantau dan melakukan pemeriksaan, mengkomunikasikan dengan pihak tersangka yang sakit di tahanan," ujar Ali.
Adapun KPK memperpanjang masa penahanan Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe selama 40 hari sampai dengan 13 Maret 2023. Perpanjangan masa penahanan tersebut dilakukan atas kebutuhan penyidikan.
KPK memastikan proses penyidikan perkara tetap berjalan sesuai prosedur hukum. Selain itu, Lukas dipastikan tetap mendapatkan haknya sebagai tersangka, termasuk di antaranya hak atas perawatan kesehatan.
Selain Lukas, dalam perkara ini KPK juga menetapkan Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka sebagai tersangka. Lukas diduga menerima suap senilai Rp1 miliar dari Rijatono Lakka.
Dugaan suap itu dilakukan untuk mendapatkan tiga proyek pembangunan di Papua senilai Rp41 miliar. Temuan lain KPK menduga Lukas juga telah menerima gratifikasi yang terkait dengan jabatannya sebagai gubernur senilai Rp10 miliar.
Sebagai pemberi, Rijatono disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, Lukas sebagai penerima disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.