close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Pixabay
icon caption
Ilustrasi. Pixabay
Nasional
Senin, 22 Maret 2021 14:10

KPK klaim ada kelemahan jika FABA masuk B3

Pemerintah telah mengeluarkan limbah batu bara FABA dari daftar B3. Ini tertuang dalam PP 22/21.
swipe

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar, mengatakan, pihaknya telah melakukan telaah pengelolaan fly ash dan bottom ash (FABA) di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2020. Dia menyebut, tujuannya untuk mencegah korupsi.

Dari kajian yang dilakukan, KPK menemukan beberapa kelemahan apabila FABA masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ini merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.

Menurutnya, memasukkan FABA ke kategori B3 tak sesuai dengan praktik dunia internasional. "Seperti di Jepang, Amerika Serikat, Australia, China, (negara) Eropa, di mana FABA dikategorikan sebagai limbah non-B3," katanya dalam webinar, Senin (22/3).

Kelemahan berikutnya, Lili mengatakan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mesti mengeluarkan biaya yang tak sedikit dalam pengelolaan FABA sesuai PP 101 tersebut. Ini mengingat PLTU PLN sebagian besar menghasilkan listrik dari batu bara yang menghasilkan FABA.

"Dan ini menyebabkan timbulnya pembiayaan yang menjadi salah satu pada unsur peningkatan BPP (biaya pokok penyediaan) PLN di tahun 2019 sebesar Rp74 per KWH dan secara signifikan kenaikan BPP per kWh untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau Jawa, seperti PLTU Labuhan Angin pada Sumatera (Utara) ini sebesar Rp790,65 per kWh," jelasnya.

Berdasarkan kajian KPK tersebut, Lili mengatakan, dimasukannya FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko rasuah dalam tata kelolanya. Selain itu, mengurangi peluang pemanfaatan FABA secara maksimal sebagai bahan baku industri konvensional.

"Dengan nilai potensi Rp300 triliun maupun pada industri maju atau nano teknologi dengan nilai tambah yang berlipat," ucapnya.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan mendepak abu batu bara dari kategori limbah B3. Hal itu tertuang dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, regulasi turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Keputusan tersebut mendapat kritik dari Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Tengah (Jateng), Fahmi Bastian. Menurutnya, limbah batu bara FABA mencemari lingkungan di sekitar permukiman warga dan membuat udara serta air sumur terkontaminasi.

Imbasnya, 15 anak-anak di Jateng mengidap bronkitis atau peradangan yang terjadi pada saluran utama pernapasan. Selain itu, membuat warga berusia 25 tahun meninggal pada 2010 dan seseorang berumur 39 tahun meregang nyawa pada 2019.

"Masyarakat gatal-gatal di sekitar penampungan FABA itu karena airnya masuk ke sumur-sumur warga yang digunakan untuk mandi dan cuci," ucapnya dalam konferensi pers virtual, Minggu (14/3).

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan