Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan proses pemeriksaan dan klarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tidak menunggu viral. Pangkalnya, memiliki prosedur tetap.
"Kalau ada pertanyaan, apakah mekanisme pemeriksaan di KPK atau klarifikasi LHKPN di KPK menunggu viral? Tentu kami jawab tidak. Ada mekanisme yang secara berkala kami lakukan untuk lakukan riksa atau klarifikasi kepada penyelenggara negara," kata juru bicara Bidang Pencegahan KPK, Ipi Maryati, di Jakarta, Kamis (9/3).
Ipi menerangkan, proses pemeriksaan dilakukan untuk menelusuri ketidakwajaran harta kekayaan yang dilaporkan penyelenggara negara. Keganjilan ini terindikasi dari besaran nilai kekayaan. Ketika itu terjadi, KPK bakal memanggil yang bersangkutan untuk klarifikasi.
"Tidak wajar bisa kita lihat dari besaran nilainya. Sangat kecil untuk profil jabatan tertentu atau bisa jadi sangat besar untuk profil jabatan tertentu, yang pada intinya tidak match antara profil jabatan tersebut. Itu bisa jadi salah satu alasan kami untuk bisa lakukan klarifikasi," tuturnya.
Ipi melanjutkan, tim Direktorat LHKPN KPK senantiasa memproses verifikasi administratif atas laporan kekayaan aparatur negara. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mencocokkan kelengkapan dokumen dengan harta faktual yang dilaporkan.
"Kami cek kesesuaian isian data hartanya, kami cek kelengkapan dokumennya, termasuk surat kuasanya. Dan step berikutnya, kami bisa riksa yang sifatnya subtantif yang kemudian dapat kami tindaklanjuti dengan tahapan klarifikasi," paparnya.
Harta kekayaan milik pejabat publik belakangan jadi sorotan karena bernilai fantastis. Bermula dari bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo, senilai Rp56 miliar, disusul eks Kepala Kantor Bea Cukai DIY, Eko Darmanto, dan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Andhi Pramono.
KPK telah memanggil Rafael dan Eko untuk mengklarifikasi harta kekayaan yang dilaporkan dalam LHKPN. KPK berencana memanggil Andhi untuk keperluan serupa.