Kepala Divisi Advokasi HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Andi Rezaldi, menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kehilangan fokus terhadap penanganan kasus-kasus korupsi besar.
Alih-alih menangani kasus korupsi besar, menurutnya, KPK justru terjebak pada upaya pelemahannya dari dalam. Hal ini, ditegaskan Andi merespon laporan KPK terhadap Greenpeace terkait aksi penyinaran laser Gedung Merah Putih ke Polres Jakarta Selatan.
"Pelaporan dan upaya pemidanaan terhadap aksi di gedung KPK merupakan peristiwa yang pertama kali, padahal telah sangat banyak aksi-aksi demonstrasi di gedung KPK sebelumnya dan tidak pernah ada upaya pemidanaan. Hal ini menunjukkan perubahan KPK dan pimpinannya yang semakin jauh dari rakyat," kata Andi dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (21/7).
Andi mengatakan, aksi yang dilakukan Greenpeace merupakan bentuk keprihatinan terhadap KPK dari serangkaian upaya-upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut. Dimulai dengan direvisinya Undang-Undang (UU) KPK pada 2019 hingga terakhir terkait dengan tes wawasan kebangsaan (TWK).
"Aksi penembakan laser yang dilaporkan KPK hanyalah salah satu dari aksi-aksi yang telah dilakukan dan merupakan bagian dari rangkaian aksi-aksi yang sebelumnya dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa," ujar dia.
Andi menjelaskan, upaya pelaporan terhadap aksi-aksi seperti yang dilakukan oleh KPK, merupakan ancaman demokrasi ke depan. Setidaknya, ini didasarkan pada beberapa argumentasi mendasar.
Pertama, aksi-aksi yang dilakukan terhadap KPK merupakan upaya dari mempersoalkan permasalahan pelemahan KPK dan banyaknya kejanggalan dalam proses TWK. Seharusnya, kata dia, dilihat sebagai upaya menyerang simbol negara, sebaliknya aksi-aksi sejenis terhadap KPK sejatinya merupakan upaya penguatan KPK.
Kedua, upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Lebih jauh lagi hal tersebut justru merupakan upaya pembungkaman publik dan strategic lawsuit against public participation (SLAPP)
Ketiga, upaya merespon kritik secara negatif dan berlebihan. Pelaporan seperti ini baru pertama kali terjadi di KPK pada masa Firli Bahuri. Andi mengatakan, selama ini, dibandingkan pada aksi yang dilakukan terhadap KPK, lembaga negara lain bahkan secara institusi terkait, jarang sekali tercatat melaporkan tindakan kritik yang diarahkan terhadap institusinya. Bahkan seperti gedung DPR yang berulang kali di demonstrasi.
Padahal, kata dia, Pasal 7 ayat (2) huruf d Peraturan Dewas Nomor 02 Tahun 2020, menyebutkan, dalam mengimplementasikan nilai dasar profesionalisme, setiap insan komisi dilarang merespons kritik dan saran secara negatif dan berlebihan.
Keempat, fokus pada pemberantasan korupsi. Menurutnya, alih-alih sibuk menjawab kritik dengan kriminalisasi, harusnya KPK fokus pada upaya-upaya strategis pemberantasan korupsi.
"Langkah-langkah kontraproduktif seperti kriminalisasi justru makin menguatkan indikasi bahwa pimpinan KPK saat ini terlibat dalam pelemahan KPK," pungkasnya.