Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil tiga mantan petinggi PT Nindya Karya (Persero). Petinggi Nindya Karya menjadi saksi dalam penyidikan kasus korupsi pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang, Aceh yang dibiayai APBN Tahun Anggaran 2006 hingga 2011.
Ketiga saksi tersebut antara lain: mantan Direktur Keuangan PT Nindya Karya 2009 sekaligus Direktur SDM PT Nindya Karya 2011 Edy Sularso. Lalu, mantan Direktur Operasi PT Nindya Karya 2008 yang juga Direktur Operasi PT Nindya Karya 2011 Erijanto, dan mantan direktur operasi PT Nindya Karya 2008 Supriyanto.
Selain itu, KPK juga menjadwalkan memeriksa Komisaris Utama PT Tuah Sejati Rika Zairina sebagai saksi untuk tersangka korporasi lainnya, yakni PT Tuah Sejati. Dalam penyidikan kasus tersebut KPK masih terus mendalami penerimaan yang diduga dinikmati PT Nindya Karya dan terkait proses penunjukan joint operation dengan PT Tuah Sejati.
"Terkait dugaan dana yang dinikmati PT Nindya Karya sebesar Rp 44 miliar sudah diamankan penyidik dan dimasukkan dalam rekening penampungan KPK," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah seperti dikutip Antara pada Kamis (28/6).
Sebelumnya, KPK pada Selasa (26/6) juga telah memeriksa tiga mantan petinggi PT Nindya Karya antara lain mantan Direktur Utama PT Nindya Karya Tahun 2007 Robert Mulyono Santoso. Mantan direktur PT Nindya Karya Tahun 2007 Sugeng Santosa, dan mantan komisaris PT Nindya Karya Tahun 2009 Wicipto Setiadi. Juga memeriksa Direktur PT Tuah Sejati Azlim.
PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati melalui Heru Sulaksono yang merupakan Kepala PT Nindya Karya cabang Sumatera Utara dan Aceh, merangkap kuasa Nindya Sejati Joint Operation diduga telah melakukan korupsi dari proyek senilai total Rp 793 miliar yang dibiayai APBN tahun anggaran 2006-2011.
Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 313 miliar dalam pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang. Sedangkan kedua korporasi ini diduga mendapat keuntungan sejumlah Rp 94,58 miliar yang berisiko tidak dapat dikembalikan ke negara jika korporasi tidak diproses.
Dugaan penyimpangan secara umum adalah dengan empat cara. Pertama, penunjukan langsung. Kedua, Nindya Sejati Joint Operation sejak awal diarahkan sebagai pemenang pelaksana pembangunan.
Ketiga, rekayasa dalam penyusunan HPS dan penggelembungan harga atau mark up. Keempat, pekerjaan utama disubkontrakkan kepada PT Budi Perkara Alam (BPA) dan adanya kesalahan prosedur seperti izin amdal belum ada tapi tetap dilakukan pembangunan.
KPK juga telah melakukan pemblokiran rekening terhadap PT Nindya Karya yang diduga menerima uang tersebut. Sedangkan untuk PT Tuah Sejati sudah disita aset berupa SPBN dan SPBN (untuk nelayan) senilai Rp 12 miliar.