Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) Abdul Ghofur, untuk diperiksa terkait kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ghofur akan dimintai keterangan sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai guru.
"Yang bersangkutan, akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HA (Hong Artha)," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, dalam keterangannya, Senin (3/2).
Ini merupakan kali ketiga Ghofur dipanggil untuk diperiksa terkait kasus itu, setelah sebelumnya mangkir pada 25 November 2019 dan 28 Januari 2020.
Belum diketahui apa yang akan menjadi fokus pemeriksaan oleh penyidik. Namun, sejumlah petinggi PKB disebut telah menerima uang dari praktik lancung tersebut. Fakta itu, pernah diungkapkan mantan kader PKB Musa Zainuddin, dalam permohonan justice colloboratornya.
Bahkan, Musa menyebut Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar juga menerima aliran dana itu. Pria yang akrab disapa Cak Imin itu disebut menerima uang sebesar Rp6 miliar dari kasus tersebut.
Dalam permohonan itu, Musa mengakui, pernah memberikan uang kepada Cak Imin melalui bekas Sekretaris Jendral PKB, Jazilul Fawaid. Bahkan, Ketua Fraksi PKB di DPR Helmy Faishal juga turut diminta Musa untuk membantu menghubungi Cak Imin agar dapat mengambil uang tersebut dari Jazilul.
Untuk diketahui, Hong Artha merupakan komisaris sekaligus direktur utama PT Sharleen Raya JECO Group. Dia merupakan tersangka ke-12 dalam perkara ini, setelah sebelumnya KPK menetapkan sebelas orang lainnya. Sebelas orang sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor.
KPK menduga, Hong Artha secara bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara, yakni Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary. Uang yang diberikam ditaksir mencapai Rp10,6 miliar pada 2015.
Selain itu, Hong Artha juga diduga telah memberikan uang senilai Rp1 miliar kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota DPR periode 2014-2019 pada 2015. Sejak ditetapkan tersangka pada 2 Juli 2019, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.
Atas perbuatannya, Hong Artha disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.