Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Kepala Divisi Land Acquisition and Permit PT Lippo Cikarang Tbk. Edi Dwi Soesianto, untuk diperiksa terkait kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Central Business District (CBD) Meikarta, Cikarang, Jawa Barat.
"Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka BTO (Bartholomeus Toto)," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, dalam pesan singkat, Senin (13/1).
Nama Edi cukup sentral dalam perkara ini. Sebab, dia pernah menyebut Toto memberikan uang senilai Rp10,5 miliar kepada Neneng Hasanah Yasin guna mempermudah Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) proyek Meikarta. Uang itu, diberikan Toto saat Neneng menjadi Bupati Bekasi.
Bahkan, Edi pernah pernah menyebut bos Lippo Group, James Riady terlibat dalam praktik suap Meikarta. Dia pernah memberikan keterangan bahwa James turut mengatur pertemuan antara Neneng dengan dirinya. Hal itu diungkapkannya dalam persidangan terdakwa Billy Sindoro, pada Senin (11/1).
Namun, sejumlah keterangan Edi mendapat serangan dalam bentuk pelaporan ke Polrestabes oleh Toto. Tersangka Meikarta itu, merasa difitnah atas sejumlah keterangan Edi dalam persidangan.
Toto mengklaim tak terlibat dalam praktik rasuah terkait kasus megaproyek tersebut. Bahkan, dia juga mengklaim, tak pernah mengurus proses perizinan proyek Meikarta.
Belakangan, KPK menerima permohonan perlindungan dari seorang saksi kasus Meikarta. Permohonan perlindungan saksi itu diajukan lantaran saksi merasa terancam atas pelaporan yang dilayangkan Toto ke pihak kepolisian. Namun, KPK enggan menyebutkan identitas pemohon perlindungan tersebut.
Dalam perkaranya, Toto diduga kuat telah mengalirkan uang senilai Rp10,5 miliar kepada Neneng Hasanah Yasin untuk memuluskan proses penerbitan surat IPPT. Uang tersebut diberikan pada Neneng Hasanah Yasin melalui orang kepercayaannya dalam lima kali pemberian, baik dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan rupiah.
Atas perbuatannya, Toto disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.