Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sangat terbuka mendalami dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Edhy Prabowo. Hal ini, disampaikan setelah eks Menteri Kelautan dan Perikanan itu divonis bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan dalam kasus suap izin ekspor benih lobster.
"KPK sangat terbuka kemungkinan untuk terus melakukan pendalaman dan pengembangan perkara selain tindak pidana korupsi berdasarkan kecukupan alat bukti," kata Pelaksana tugas Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding, Jumat (16/7).
"Hal ini dilakukan, di antaranya dengan terlebih dahulu menganalisis seluruh fakta-fakta hukum selama proses persidangan yang telah termuat dalam pertimbangan putusan majelis hakim," sambungnya.
Sebelumnya, KPK mengambil sikap untuk mempelajari dulu vonis Edhy dan kawan-kawan. Diketahui, dalam sidang pada Kamis (15/7), jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK memilih pikir-pikir dulu sebelum ambil sikap banding atau menerima putusan.
Namun, KPK mengapresiasi putusan majelis hakim atas vonis para terdakwa karena dianggap sesuai tuntutan JPU. "Kami menghormati dan mengapresiasi putusan majelis hakim terhadap para terdakwa. Secara umum telah memenuhi seluruh isi analisis yuridis dalam tuntutan Tim JPU," ucap Ipi.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga menjatuhi pidana tambahan kepada Edhy berupa membayar uang pengganti Rp9.687.447.219 dan US$77.000, serta pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun terhitung sejak Edhy selesai menjalani pidana pokok.
Edhy terbukti terima suap US$77.000 dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito, terkait izin ekspor benur. Edhy juga terbukti menerima Rp24.625.587.250. Uang Rp24,6 miliar itu disebut sebagai bagian keuntungan yang tidak sah dari PT Aero Citra Kargo (ACK) terkait biaya pengiriman jasa kargo benur dari perusahaan eksportir.
Pertimbangan keadaan yang memberatkan vonis, Edhy tidak mendukung pemerintah dalam pemberantasan korupsi, tidak memberikan teladan yang baik selaku Menteri KP, dan telah menggunakan hasil tindak pidana korupsi. Sementara keadaan meringankan, berlaku sopan, belum pernah dihukum, dan sebagian harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi telah disita.
Terkait dugaan TPPU Edhy, Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat idealnya KPK segara menerbitkan surat perintah penyelidikan. Menurut ICW, beberapa bukti awal terkait dugaan TPPU Edhy sudah terlihat dalam persidangan.
"Misalnya, modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti guna menyamarkan aset hasil kejahatan atau bahkan meminjam rekening orang ketiga untuk menerima sejumlah penerimaan suap," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana.