close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri), Alexander Marwata (kanan), dan Konselor Iklim dan Hutan Norwegia Marianne Johanssen (kedua kiri) menyampaikan pendapatnya pada pertemuan Program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan PPNS di Sektor Kehutanan dan S
icon caption
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri), Alexander Marwata (kanan), dan Konselor Iklim dan Hutan Norwegia Marianne Johanssen (kedua kiri) menyampaikan pendapatnya pada pertemuan Program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan PPNS di Sektor Kehutanan dan S
Nasional
Kamis, 19 Desember 2019 15:45

KPK kritik kebijakan Jokowi soal Omnibus Law

KPK meminta sebelum menerapkan aturan Omnibus Law, perlu ada naskah akademik yang mengkaji aturan tersebut secara baik.
swipe

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarief, mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo soal Omnibus Law. Pada aturan itu, ia menyoroti rencana penghapusan sanksi pidana bagi korporasi. Menurutnya, rencana penghapusan sanksi pidana bagi korporasi merupakan suatu kemunduran dalam sistem peradilan di Indonesia.

Laode menilai sanksi pidana untuk korporasi merupakan suatu hal yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, kejahatan yang dilakukan korporasi merupakan perkembangan dari bentuk tindak pidana.

“Dulu Belanda tidak mengakui (hukuman bagi korporasi). Sekarang di KUHP Belanda, jelas sekali ada (hukuman bagi korporasi) itu. Jadi, jangan kita membuat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial, malah kembali ke kolonial," kata Laode saat ditemui di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).

Laode berharap pemerintah dan pemangku kepentingan dapat merumuskan delik pidana dengan baik terkait hukuman bagi korporasi. Selain itu, dia meminta sebelum menerapkan aturan Omnibus Law, perlu ada naskah akademik yang mengkaji aturan tersebut secara baik.

“Kita berharap ada naskah akademik. Jangan ujuk-ujuk langsung keluar pasal-pasal itu dari pemerintah. Naskah akademiknya harus jelas. Siapa timnya yang melakukan itu,” ucap dia.

Sejauh ini, Laode meragukan komposisi tim satuan tugas atau Satgas yang dibentuk Kementerian Koordinator bidang Perekonomian yang kerap melakukan konsultasi Undang-Undang Omnibus Law. Pasalnya, komposisi orang-orang yang ada dalam tim tersebut kurang memiliki kapasitas dalam di bidang hukum.

“Setelah saya baca timnya, kalau itu benar yang ada di media, perwakilan dari perusahaan banyak, dari pemerintah, dan dari universitas itu rektor. Rektor seperti itu bukan ahli hukum,” ucap Laode.

Dia meminta kepada para pemangku kepentingan untuk merumuskan aturan Omnibus Law dengan tidak memuat sejumlah kepentingan dari berbagai kalangan.

“Jadi, saya pikir, (Omnibus Law) itu perlu diperjelas agar ini tidak menjadi alat untuk berlindung bagi korporasi yang mempunyai niat tidak baik," ujar Laode.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, berencana akan menghapus sanksi pidana kepada koorporasi nakal. Sebagai gantinya, ia akan menjerat koorporasi dengan sanksi administrasi. Ketentuan tersebut nantinya akan dituangkan dalam aturan Omnibus Law atau penyederhanaan peraturan.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan