Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa advokat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Donny Tri Istiqomah. Guna mendalami proses administrasi pengajuan bekas calon legislatif (caleg) "partai banteng moncong putih", Harun Masiku, sebagai anggota DPR RI melalui pergantian antarwaktu (PAW).
"Jadi seputar proses administrasi terkait dengan bagian pergantian antarwaktu, ya. (Mulai) syaratnya, pengajuan, analisisnya, yuridis dari fatwa MA (Mahkamah Agung) terkait ini," kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (12/2).
Penyidik juga mendalami aliran dananya. Mengingat kasus tersebut menerapkan pasal suap dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Penyidik tidak berhenti mengembangkan pertanyaan ke saksi terkait dengan proses administrasi, tetapi tentunya aliran uang dan uang yang ditemukan, dikonfirmasi kepada setiap saksi yang penyidik hadirkan," tuturnya.
Penelusuran aliran dana dilakukan melalui Sekretaris Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua Barat, RM Thamrin Payapo. Dia dikonfirmasi terkait temuan buku rekening yang diamankan saat operasi senyap, 8 Januari 2020.
"Ada buku rekening yang berisi uang kurang-lebih Rp600 juta. Kita mengonfirmasi beberapa pihak dugaan penerimaan uang lain yang ada di dalam rekening tersebut," ujar Fikri.
Dalam perkara ini, bekas Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, diduga menerima suap dari Harun. Agar bekas politikus Partai Demokrat itu menjadi anggota dewan. Untuk memuluskan tujuannya, Harun dibantu dua kader PDIP. Agistiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.
Wahyu diduga meminta uang Rp900 juta kepada Harun. Permintaan pun dipenuhi. Namun, diberikan bertahap. Pertengahan dan akhir Desember 2019.
Transaksi pertama, Wahyu dapat Rp200 juta dari Rp400 juta dari sumber yang belum diketahui KPK. Uang diterimanya melalui Agustiani di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Akhir Desember, Harun menyerahkan Rp850 juta kepada Saeful melalui stafnya di DPP PDIP. Sebanyak Rp150 juta di antaranya, diberikan kepada Doni. Sisanya kepada Agustiani. Rp250 juta guna operasional dan Rp400 juta untuk Wahyu.
Namun, upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR pengganti Nazarudin tak berjalan mulus. Lantaran rapat pleno KPU, 7 Januari 2020, menolak permohonan PDIP dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai legislator.
Wahyu tak berkecil hati. Dia menghubungi Doni dan sesumbar, tetap berupaya menjadikan Harun sebagai anggota dewan.
Dirinya lantas meminta uang yang diberikan Harun kepada Agustiani, 8 Januari 2020. Saat hendak diserahkan, KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk dolar Singapura.
Sebagai penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Harun dan Saeful selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.